Halaman

Jumat, 23 Desember 2011

puisi arifin oce

Bintang di peraduan

Aku berbenah

Pada bintang inikah diriku bimbang

Tak tentu mata angin yang menggiring

“Tak tentu”

kutertawakan diriku yang bodoh

Lugu menyelimut disekujur tubuh

Ku mengiba pada wajahku yang tak tentu menghadap

Pucat pasi mulut pun terkunci

Haruskah aku terambang bersama bahtera di samudera

Untuk mementukan bintang diperaduanya sebagai arah

Dan ia mengedipkan cahanya demi sebutir pasir yang terapung

Biarlah ini menjadi prasasti yang tak kumengerti

Terkenang saat pintu mimpi-mimpi mulai terbuka

Saat tubuh ini tak lagi merasa sakit jika jatuh

dan hancur berkeping-keping dalam mimpi

sanggar 2011

Cermin

Satu langkah

Ya ..satu langkah dan terus melangkah

bersibaku untuk satu impian perubahan

hingga

Tak ada putaran sang mentari di siang hari

Meski hanya untuk sekedar menyapa bulan di malam hari

Mencium wanginya minyak kasturi

Melantun sembari melihat makna-makna

Sebab kepuasan jelas yang tak berujung

Kita kan tidur lalu bangun untuk tersenyum atau merintih

Terbukanya mata ini adalah sebuah kaca

gambar kan terlihat jelas

Saat esok hari lebih panjang dari pada hari ini

Mata pedang telah terlalu cepat menebas jarum jam

sampai sang cermin telah melihatkan keriput pada mata

sanggar 2011

Cermin-Cermin

Rupanya angin telah menyampaikan pesan

Dengan bahasa yang ia fahami sendiri

seperti gambar dan sajak yang tak perlu arti

dan tak perlu pula diterangkan

ia hanya menyimpan perasaan

Begitupun sahabatnya

Menari dan memuji tanpa henti

Bersenandung tanpa melodi dan menyanjung tanpa keindahan kata

Tatapan mata telah lupa akan hakikat sebuah rentetan dimana ia ada

Cermin-cermin berkilau tanpa rupa

Tanpa bayangan yang sama

melahirkan filsafat-filsafat rumit nan diagungkan

Dipuji namun tak butuh pujian

Cermin-cermin yang terlupakan

Diinjak-ijak dilukis diminum dibunuh

Hingga tak habis kata untuk didengungkan dan dinikmati

Semarang 2011

Tafsir Makna Kebisuan

inginku menampar jari jemarimu dengan pipiku

menyanyikanmu dengan nada melodi melo

hingga keromantisan menjadi suasana kita

ketenanganmu membenamkan sejuta impian

olehmu dengan satu perasaan

aku gembira ketika hujan mulai turun

terus terjun hingga mengetuk bumi dengan irama dentuman riuh

karena aku bisa menagis ditengah kerumunan yang melelehkan air mataku

menjerit sejadi mungkin hingga tak terdengar oleh siapapun

karena petikan nada-nada bumi menenggelamkan isak tangisku

kenapa ia harus menjadi danau

saat aku ingin mengalir

dan terjun untuk menjatuhkan suaraku

hingga terasa asri terdengar

dan kenapa aku harus digilakan pada tafsiran-tafsiran kemungkinan

dengan ulahnhya yang tenang

hanya bintik hujan inilah yang cukup menghapus dan musnah

setelah bergantian pecah mengetuk tanah

Rumah Gema 2011

Kebun Ilalang

Kebun ilalang

Liar namun indah dan menawan

Kutemukan kau diantara luasnya ilalang

Jika matahari terik disiang hari

Kurasakan kau sebagai secawan air yang menyegarkan

Kebun ilalang

Liar namun indah menawan

Terus meari di tengah rerumbukan

Mendayu pada angin yang merayu

Kebun ilalang

Liar namun indah menawan

Kala aku dahaga ditengah padang pasir

Kau datang sebagai air untukku

Kebun ilalang

Liar namun indah menawan

Saat aku tertidur

Kau adalah setumpuk kapas yang menghangatkanku

Kebun ilalang

Liar namun indah menawan

Sinarkan bintang-bintang

Oleh cahaya harapan

Kebun ilalang

Liar namun indah menawan

Meski padam sikapmu

Kau nyalakan api cinta dihatiku

Kampus 051011 2011

Biodata penulis:

Arifin Oce

Berasal dari Grobogan, lahir 28-08-1988

Mahasiswa PBSI Semester 5

Aktif di Teater Gema dan HIMA PBSI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar