Sepatah
Kisah Peneduh Jiwa
Sesungguhnya,
sabar bagi iman adalah ibarat kepala bagi tubuh. Tubuh akan binasa
tanpa kepala, dan begitu juga ketika sabar hilang, iman juga musnah.
(Imam
Ja’far al-Shadiq)
Alkisah sebuah desa
kecil di Turki, hiduplah seorang laki-laki bernama Husain yang
menikahi anak tetangganya. Pada perayaan pernikahanya, Husain
terkagum-kagum dengan percakapan kedua orang sarjana agama yang dia
undang. Husain bertanya dari mana mereka bisa mendapatkan banyak ilmu
yang rumit seperti itu. Merekapun menjawab telah menghabiskan waktu
bertahun-tahun untuk belajar di istambul.
Keesokan paginya
setelah malam pengantinya, Husain berkata pada istrinya, “saya
telah berusia dua puluh tahun dan sejujurnya aku tidak tahu apa-apa
tentang sesuatu hal yang baik. Aku ingin belajar di istambul dan
menjadi sarjana. Tolong jaga peternakan dan kedua orangtua ku selama
aku pergi.
Husain pun pergi ke
istambul dengan menghabiskan waktu berminggu-minggu perjalanan.
Kemudian , ia belajar selama tiga puluh tahun, berpindah dari guru
satu ke guru yang lain untuk mendapatkan ilmu. Pada usia lima puluh
tahun, akhirnya Husain pulang ke kampung halamanya, dengan jubah
kesarjanaanya peringkat tertinggi.
Dalam perjalanan
pulang, dia mampir di sebuah desa kecil yang jaraknya sekitar
setengah hari perjalanan dari kampung halamanya. Karena hari itu
cukup sore, ia memutuskan untuk singgah di masjid sekitar untuk
sholat. Seluruh penduduk desa terkesan dan terpesona dengan
bahasa-bahasanya yang bijak. Walau mereka tidak mengerti istilah
bahasa yang digunakan Husai dalam setiap percakapan. Melihat seorang
sarjana yang singgah ke desa mereka pun menawarkan tumpangan tidur.
Orang pertama yang menawarkan tumpangan rumah, memaksa Husain untuk
tinggal.
Setelah makan malam,
tuan rumah bertanya bagaimana dia bisa sampai menjadi sarjana. Husain
pun bercerita tentang perjalanan hidupnya, bagaimana dia meninggalkan
keluarga setelah sehari pernikahan selama lima puluh tahun.
Tuan rumah berkata,
“bolehkah sya bertanya sesuatu?” Husain menjawab, “tentu saja
boleh. Mau tanya apa?, “ apakah awal dari kearifan?” Husain
menjawab, “ awal dari kearifan adalah meminta tolong kepada Tuhan
atas segala sesuatu.”
“Bukan, bukan
itu awal dari kearifan.”
Kata tuan rumah. Husain lalu menjawab dengan berbagai teori yang
telah di pelajari. Tetapi semua jawabanya tidak bisa di terima oleh
tuan rumah. Akhirnya Husain membalikan pertanyaan. Tuan rumah
menjawab bahwa dia mengetahui jawabnya. Dan dia mau mengajarkan
kepasa Husain selama setahun. Selama setahun Husain mengabdi kepada
tuan rumah, pergi ke ladang dan mengikuti semua perintahnya. Setelah
setahun, Husain menagih jawaban kepada tuan rumah. Husain bertanya
dengan membentak dan nada yang tinggi kepada tuan rumah. Tuan rumah
menjawab, “ setahun
lebih aku mengajarimu tentang arti kesabaran. Engkau sarjana yang
mentah dan belum dapat mengamalkan ilmu yang kau dapat. Sesungguhnya
tiada gunanya ilmu yang kau pelajari, tetapi harunya kau amalkan
ilmumu itu kepada rakyat yang memmbutuhkan pencerahan. Awal dari
kearifan adalah sabar.”
Tuan rumah bukanlah
penduduk biasa melainkan seorang guru besar yang mengajarkan
kebenaran. Setelah mendengarkan penjabaran dari tuan rumah, Husain
pun melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman yang selama lima
puluh tahun dia tinggal.
Hari sudah sore
ketika Husain tiba dirumah, betapa shock dia melihat istrinya yang
bekerja keras. Belum lengang dalam pandangan, sekejap datanglah
seorang pemuda yang gagah perkasa sambil membawa sorban. Wajahnya
tampan dan berwibawa. Timbul rasa cemburu dalam benak Husain, dia
keluarkan pistol yang biasa dia gunakan untuk berjaga-jaga sepanjang
perjalanan. Seketika dia teringat pesan dari sang tuan rumah agar
dapat sabar dan bertindak dengan pemikiran. Husain melanjutkan
perjalanan ke mushola dekat rumah yang biasa dia gunakan beribadah
sebelum mencari ilmu di Istambul. Dia berbincang dengan warga dan
sesekali bertanya tentang pemuda yang dia lihat tadi. Warga berkata
bahwa pemuda tersebut adalah ananya Husain, pemuda yang meninggalkan
istrinya untuk melanjutkan sekolah setelah pernikahannya. Husain
bersyukur bahwa dia tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Setelah
sholat, dia pulang ke rumah dan memeluk keluarganya.
Betapa sesungguhnya
sabar adalah kunci dari sesuatu hal yang besar. Dari sini dapat kita
ambil hikmah dari perjalanan panjang hidup dari seorang Husain untuk
mencari ilmu. Banyak bguru di Indonesia, tapi hanya sedikit guru di
Indonesia yang menyadari posisinya sebagai seorang guru. Kesabaran
dalam mendidik siswa adalah sebuah kewajiban kita.
Adalah
sebuah takdir kita dilahirkan.
Adalah
sebuah pilihan kita menjadi guru.
Tetapi
memberikan dedikasi kita sepenuhnya terhadap dunia pendidikankepada
anak-anak didik, adalah kewajiban kita yang harus kita emban dengan
bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar