Halaman

Minggu, 13 Januari 2013

Sepatah Kisah Peneduh Jiwa

Sepatah Kisah Peneduh Jiwa
Sesungguhnya, sabar bagi iman adalah ibarat kepala bagi tubuh. Tubuh akan binasa tanpa kepala, dan begitu juga ketika sabar hilang, iman juga musnah. (Imam Ja’far al-Shadiq)
Alkisah sebuah desa kecil di Turki, hiduplah seorang laki-laki bernama Husain yang menikahi anak tetangganya. Pada perayaan pernikahanya, Husain terkagum-kagum dengan percakapan kedua orang sarjana agama yang dia undang. Husain bertanya dari mana mereka bisa mendapatkan banyak ilmu yang rumit seperti itu. Merekapun menjawab telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk belajar di istambul.
Keesokan paginya setelah malam pengantinya, Husain berkata pada istrinya, “saya telah berusia dua puluh tahun dan sejujurnya aku tidak tahu apa-apa tentang sesuatu hal yang baik. Aku ingin belajar di istambul dan menjadi sarjana. Tolong jaga peternakan dan kedua orangtua ku selama aku pergi.
Husain pun pergi ke istambul dengan menghabiskan waktu berminggu-minggu perjalanan. Kemudian , ia belajar selama tiga puluh tahun, berpindah dari guru satu ke guru yang lain untuk mendapatkan ilmu. Pada usia lima puluh tahun, akhirnya Husain pulang ke kampung halamanya, dengan jubah kesarjanaanya peringkat tertinggi.
Dalam perjalanan pulang, dia mampir di sebuah desa kecil yang jaraknya sekitar setengah hari perjalanan dari kampung halamanya. Karena hari itu cukup sore, ia memutuskan untuk singgah di masjid sekitar untuk sholat. Seluruh penduduk desa terkesan dan terpesona dengan bahasa-bahasanya yang bijak. Walau mereka tidak mengerti istilah bahasa yang digunakan Husai dalam setiap percakapan. Melihat seorang sarjana yang singgah ke desa mereka pun menawarkan tumpangan tidur. Orang pertama yang menawarkan tumpangan rumah, memaksa Husain untuk tinggal.
Setelah makan malam, tuan rumah bertanya bagaimana dia bisa sampai menjadi sarjana. Husain pun bercerita tentang perjalanan hidupnya, bagaimana dia meninggalkan keluarga setelah sehari pernikahan selama lima puluh tahun.
Tuan rumah berkata, “bolehkah sya bertanya sesuatu?” Husain menjawab, “tentu saja boleh. Mau tanya apa?, “ apakah awal dari kearifan?” Husain menjawab, “ awal dari kearifan adalah meminta tolong kepada Tuhan atas segala sesuatu.”
Bukan, bukan itu awal dari kearifan.” Kata tuan rumah. Husain lalu menjawab dengan berbagai teori yang telah di pelajari. Tetapi semua jawabanya tidak bisa di terima oleh tuan rumah. Akhirnya Husain membalikan pertanyaan. Tuan rumah menjawab bahwa dia mengetahui jawabnya. Dan dia mau mengajarkan kepasa Husain selama setahun. Selama setahun Husain mengabdi kepada tuan rumah, pergi ke ladang dan mengikuti semua perintahnya. Setelah setahun, Husain menagih jawaban kepada tuan rumah. Husain bertanya dengan membentak dan nada yang tinggi kepada tuan rumah. Tuan rumah menjawab, “ setahun lebih aku mengajarimu tentang arti kesabaran. Engkau sarjana yang mentah dan belum dapat mengamalkan ilmu yang kau dapat. Sesungguhnya tiada gunanya ilmu yang kau pelajari, tetapi harunya kau amalkan ilmumu itu kepada rakyat yang memmbutuhkan pencerahan. Awal dari kearifan adalah sabar.
Tuan rumah bukanlah penduduk biasa melainkan seorang guru besar yang mengajarkan kebenaran. Setelah mendengarkan penjabaran dari tuan rumah, Husain pun melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman yang selama lima puluh tahun dia tinggal.
Hari sudah sore ketika Husain tiba dirumah, betapa shock dia melihat istrinya yang bekerja keras. Belum lengang dalam pandangan, sekejap datanglah seorang pemuda yang gagah perkasa sambil membawa sorban. Wajahnya tampan dan berwibawa. Timbul rasa cemburu dalam benak Husain, dia keluarkan pistol yang biasa dia gunakan untuk berjaga-jaga sepanjang perjalanan. Seketika dia teringat pesan dari sang tuan rumah agar dapat sabar dan bertindak dengan pemikiran. Husain melanjutkan perjalanan ke mushola dekat rumah yang biasa dia gunakan beribadah sebelum mencari ilmu di Istambul. Dia berbincang dengan warga dan sesekali bertanya tentang pemuda yang dia lihat tadi. Warga berkata bahwa pemuda tersebut adalah ananya Husain, pemuda yang meninggalkan istrinya untuk melanjutkan sekolah setelah pernikahannya. Husain bersyukur bahwa dia tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Setelah sholat, dia pulang ke rumah dan memeluk keluarganya.
Betapa sesungguhnya sabar adalah kunci dari sesuatu hal yang besar. Dari sini dapat kita ambil hikmah dari perjalanan panjang hidup dari seorang Husain untuk mencari ilmu. Banyak bguru di Indonesia, tapi hanya sedikit guru di Indonesia yang menyadari posisinya sebagai seorang guru. Kesabaran dalam mendidik siswa adalah sebuah kewajiban kita.
Adalah sebuah takdir kita dilahirkan.
Adalah sebuah pilihan kita menjadi guru.
Tetapi memberikan dedikasi kita sepenuhnya terhadap dunia pendidikankepada anak-anak didik, adalah kewajiban kita yang harus kita emban dengan bijaksana.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar