Kenangan SIKRAB - Siang Keakraban, PMII KOMISARIAT IKIP PGRI Semarang di Maerokoco, PRPP Semarang
Menulis
kisah kita. Melalui tulisan ini, aku tengah berusaha mengumpulkan
sisa-sisa kenangan selama kebersamaan kita yang sempat terjatuh lalu ku
pungut lagi. Terjatuh dan ku pungut kembali. Mungkin juga sebagian
kenangan itu ada yang terlupakan atau bahkan hilang entah ke mana.
Malam itu, Sabtu (22/12), kami (aku, Efa, Diana, Zuhri, Yasin, Aklis, Toha, Andre, dan Huda) sedang rapat gladi bersih persiapan SIKRAB yang akan kami laksanakan besok (23/12) di Maerokoco – PRPP. Kami benar-benar galau. Terlebih sang Ketua Panitia, Sahabat Zuhri. Dari beberapa peserta yang sudah terdaftar dalam acara SIKRAB (Siang Keakraban, sebenarnya nama acaranya MAKRAB, tetapi karena acara ini berlangsung pada siang hari, maka pihak panitia berinisiatif membentuk akronim SIKRAB – Siang Keakraban), ada yang belum bayar iuran. Bah! Bagaimana ini? Hal itu tentu saja membuat sang bendara, Sahabat Aklis, kebingungan dan sedikit galau. Untungnya, Aklis sudah mahir mengatasi masalah keuangan (mungkin karena kebiasaannya mengatur lalu lintas uang pulsa), jadi beban kami sedikit berkurang. Sahabat yang satu ini memang ahli dalam urusan ekonomi. Dengan lincah, ia telah mendaftar kebutuhan yang kami perlukan selama acara berlangsung. Mulai dari transportasi, sewa tempat, konsumsi, dan lain-lain.
Selanjutnya masalah penginapan. Bentrok semakin hebat ketika di antara peserta rapat yang telah ku sebutkan di atas beradu pendapat. Alasan yang disampaikan sahabat Yasin selaku pihak yang survei tempat cukup logis. Menginap maupun tidak menginap harga sewa tempatnya tetap sama. Menginap. Tidak. Menginap. Tidak. Akhirnya, kami mengambil keputusan; masalah menginap atau tidak kita serahkan saja pada peserta SIKRAB (eh, malah lupa tidak disampaikan, biasa faktor U).
Masalah keuangan dan penginapan clear. Ada lagi hal yang sangat tidak patut untuk dilupakan dan tidak kalah pentingnya. Ya, konsumsi. Ini adalah hal yang sangat disukai oleh Toha. Alhamdulillah jangan khawatir, berkat wejangan dari Mbak Fida dan Mbak Nia kepada sie konsumsi, sahabat Diana, semua beres.
Rapat bagian terakhir mengenai undangan untuk alumni. Lagi-lagi kami galau. Alumni diundang atau tidak ya? Soalnya acara hanya satu hari. Tak lama berpikir, Zuhri menyarankan untuk mengundang alumni dan akulah PJ-nya. Haduh! Undangan mendadak? Apa mungkin datang? Segera saja ku daftar nama-nama alumni untuk dihubungi. Mas Muhajir Arrosyid, Mbak Rini, Kak Hajir, Mas Fitor,Mas Andre, Mbak Dovi, dan Mas Priyo. Waktu itu hanya nama-nama itulah yang berhasil tertangkap oleh ingatanku (maaf ya Mas-mas dan Mbak-mbak yang lain).
Waw! Sip! Rapat selesai. Benar-benar super. Saatnya membantu sie konsumsi berbelanja. Udara dingin semakin menelusup di sela-sela rintik hujan yang jatuh beriringan. Meskipun begitu, kami tetap semangat melawan air-air yang menetesi atap wisma. Diana dan Efa tetap gigih menerjang guyuran air untuk membeli snack dan perlengkapan lain setelah mendapat pesangon dari Aklis. Akupun tak mau kalah. Bersama Pak Ketua Panitia, Zuhri, kuikuti jejak mereka berperang melawan gigitan dingin dalam cipratan air yang menggenang di jalan berlubang untuk membeli air kardus dan air galon. Beberapa menit berlalu. Kami semua kembali berkumpul di wisma. Basah kuyup, tapi tidak apa-apa demi PMII. Jiah! Urusan konsumsi sedikit berkurang, tinggal masalah sarapan dan makan siang buat besok.
Tak terasa waktu menujukkan pukul 22.00. Kami bergegas kembali ke kos masing-masing. Jujur saja. Sebagai sie acara, aku masih dilanda kegalauan yang berlebih. Sekarang memang benar-benar baru musim galau, ya? Sampai detik itu, aku bersama kedua orang temanku yang sering ku sapa Jad dan Dul masih bingung menentukan konsep acara buat besok. Bagaimana tidak? Konsep acara sering berubah. Dari dua hari yang telah disepakati, kini hanya dikerucutkan menjadi satu hari tok. Mereka memang sahabat ter-JOS. Seolah dapat membaca tanda tanya abstrak yang muncul dari kepalaku, mereka memberiku pencerahan (jiah, kayak Mbah Dukun).
Sepulang rapat, kami berjibaku merembuk persiapan outbond SIKRAB PMII. Malam itu, Efa sengaja ku bujuk untuk tidur di kosku. Berhasil. Meski dengan merintih karena takut ketahuan penjaga kos, toh akhirnya dia mau tidur di kosku juga. Kami bertiga rapat persiapan outbond hingga larut malam. Acara yang satu ini harus dibuat semenarik mungkin karena inti dari acara ini adalah menciptakan keakraban. Begitu pikirku meyakinkan mereka.
Di antara pekat malam, desir rintik hujan perlahan berkurang. Titik-titik air yang sejak sore menciptakan suasana sendu, kini hampir tak terdengar lagi. Kami bertiga bertukar pendapat. Serius. Suasana hening. Sering juga kami slenco hingga mengakibatkan kami terbahak. Ini nggak boleh gagal. Wah, benar-benar melelahkan. Mulai dari gunting kertas, mewarnai kertas dengan crayon (yang lebih parah lagi, crayonnya pinjam), menyiapkan ember (pinjam juga), plastik, sendok (pinjam),tali raffia, mutiara tiruan (minta Efa), piring (pinjam), botol Aqua, dan lain-lain.
Di tengah suara jangkrik dan bisikan angin malam, tiba-tiba salah satu di antara kami berucap, ”Aku lapar”. Haduh, gimana ini? Anak orang dibiarkan kelaparan tengah malam. Saat menulis ini, aku jadi teringat kata-kata dalam kaos KePIK yang didesain oleh Mas Muhajir Arrosyid. Begini kata-katanya, “Jangan bilang dirimu kaya jika tetanggamu memakan bangkai kucingnya orang-orang miskin – WS. Rendra”. Waw! Tajam rek! Dengan sigap, Diana mengeluarkan sebungkus Indomie Cabai Hijau dari plastik kresek putihnya. Mejikom adalah andalan kami untuk melunakkan mie instan itu. Sambil menunggu rebusan mie dalam mejikom, kami melanjutkan perencanaan outbond. Diselingi guyonan, kami mengobrol tentang bagaimana kelangsungan acara besok. Pasti seru! Begitulah perkiraan kami.
Malam kian sepi. Kami mulai mengantuk. Krucuk. Krucuk. Astaga! Ups! Bagaimana dengan keadaan mie dalam mejikom? Ha? Lupa! Seperti kebakaran jenggot, Diana melompat dan cia set set set. Dia segera mencabut colokan kabel mejikom. Untung tidak gosong. Alhamdulillah. Setelah itu, Diana langsung mencampur bumbu dan rebusan mie tadi. Walaupun terlalu matang dan agak sedikit lembek, tidak apa-apalah yang penting perut kami terisi. Huah! Ngantuk!
Tepar! Zzz...
***
Waktu seolah berlari. Suara krasak-krusuk teman kos lain membuat kami harus merelakan diri untuk segera bangun. Rasanya baru empat jam yang lalu kami tidur, sekarang saatnya siap-siap. Hadeh, dinginnya. Efa ku antar pulang. Kemudian aku dan Diana siap-siap. Kami akan ke pasar Langgar dahulu untuk membeli krupuk dan perlengkapan outbond. Sial. Di tengah jalan sepulang dari pasar, tiba-tiba dari belakang terdengar suara, “Krupuk. Krupuk!” Aku yang waktu itu membawa tujuh renteng krupuk plastik, sontak menengok ke belakang. Dia adalah laki-laki seusiaku yang sedang bersepeda. Haduh, mana ada penjual krupuk sepertiku? Aku merasa geram. Mungkin Diana yang sedang berjalan menggiringku ikut tertawa.
Sesampainya di kos, aku dan Diana segera meluncur ke wisma dengan Supra X 125 kepunyaan Toha yang kami bawa selepas rapat malam itu. Andai saja anak-anak PMII bawa kendaraan semua maka tak perlu sewa angkot ketika ada acara. Sekilas aku teringat kata-kata Yasin tentang usulannya mengkreditkan motor untuk anak-anak PMII yang tidak membawa kendaraan. Berkaitan dengan urusan pembayaran dapat dicicil setiap hari selama masih berstatus sebagai mahasiswa IKIP. Jika sampai lulus belum lunas, maka dengan terpaksa motor diambil deller kembali beserta uang ganti ruginya (mengenaskan).
Kembali lagi ke SIKRAB. Ketika aku dan Diana sampai di wisma, kami langsung disambut oleh sang ketua panitia. Dia sangat semangat. Dengan tergopoh-gopoh, Zuhri membantu kami menurunkan barang bawaan yang susah payah kami bawa dari kos. Ya, dua ember, botol Aqua, krupuk, dan masih banyak lagi. Kami berdua mengaso sebentar. Aku dan Diana duduk di sofa amblong kebanggaan wisma. Tarra! Mereka yang ada di wisma terlihat senang saat aku menunjukkan sesuatu. Ini adalah barang ndeso. Namun, karena kendesoannya itulah mereka suka. Biasa wajah ndeso. Apalagi kalau bukan glethuk, klepon, dan cethot. Benar-benar ndeso. Makanan itu aku dapatkan di pasar Langgar bersama Diana. Mereka begitu antusias melahap setiap parutan kelapa pada makanan-makanan ajaib itu. Jarang ditemukan pemandangan seperti ini.
Dari lima bungkus makanan ndeso itu, kini tinggal tiga bungkus. Rencananya, ketiga bungkus itu akan kami berikan pada Huda yang sejak selesai rapat mengaku ingin jajanan dan untuk sahabat/i yang lain. Alhasil, ketiga bungkus campuran cethot, glethuk, dan klepon itu lenyap di perut anak-anak wisma lain. Maaf Huda.
Peserta sudah kumpul. Tulit. Tulit. Tulit. Ponsel Zuhri berbunyi. Aklis membeitahukan bahwa kedua angkot yang kami sewa sudah tiba. Saatnya berangkat menuju TKP. Cuus!
Aku diantar Zuhri menuju perpustakaan kampus, kesepakatan tempat berkumpul semua peserta dan panitia. Ya, benar saja. Di sana sudah berkumpul para peserta SIKRAB. Kami bergegas. Galon, air kardus, ember, dan snack, kami masukkan ke dalam angkot. Sip. Siap cap cus. Meluncur.
Selama sekitar 20 menit lepas dari pukul 07.00, kami menyusuri jalan. Pak Angkot dengan lihai menyalip kendaraan lain. Cihuy. Kendaraan yang ku tumpangi mendahului angkot lainnya. Kami bersorak gembira layaknya anak kecil. Di tengah perjalanan, aku mengingat sesuatu. Sepertinya aku pernah lewat jalan ini? Benar saja. Ini kan jalan menuju pantai Marina? Haduh, LOLAnya diriku. Woles. Woles. Ups. Maaf Zuhri, aku menggunakan kata-kata itu lagi.
Tak sampai menunggu kelelahan, kami sudah tiba di lokasi. Seperti biasa, hal pertama yang dilakukan anak-anak setelah sampai di sana selain memberi salam adalah… Betul! Foto-foto. Narsis sebentar. Tidak apa-apalah. Hitung-hitung menghibur diri akibat nggak kesampaian jadi model. Astaghfirullah.
Waktu menunjukkan pukul 08.00. Semua peserta dan panitia berkumpul di pendopo miniatur kota Kudus untuk melakukan upacara pembukaan dan dilanjutkan sarapan. Ya ya ya. Awas! Jangan ingat-ingat Toha, please. Nanti dia protes.
Setelah sarapan, inilah saatnya senang-senang. Game! Yeee! Game ini dipimpin oleh Efa, aku, dan Diana sesuai kesepakatan tadi malam. Sebelum game dimulai, lima kelompok yang masing-masing beranggotakan tiga sampai empat orang ini diwajibkan membuat yel-yel yang berhubungan dengan semangat PMII. Sambil menunggu mereka menciptakan yel-yel, kami bertiga menyiapkan perlengkapan game. Sendok, mutiara tiruan, rafia, dan krupuk. Sudah dapat ditebak sendiri kan jenis permainannya apa? Ya iyalah, kan sudah berlalu. Oh ya, ada hal yang hampir lupa. Maaf ya, krupuknya terburu kena angin, jadinya alot deh. Hehe.
Next. Waktunya bergame. Semua kelompok digiring ke aula yang terletak di depan pendopo. Sebelum mereka menunjukkan unjuk kebolehannya, perwakilan masing-masing kelompok mendapatkan undian lagi agar tidak terkesan monoton; kelompok satu tampil pertama, kelompok dua tampil nomor dua, dan seterusnya. Aksi dimulai. Mereka tampil sesuai undian yang didapat. Yel-yel yang mereka tampilkan cukup menarik. Lumayanlah buat penghibur di kala tugas akhir semester numpuk. Refreshing itu perlu sebagai salah satu tips awet muda.
Game pertama bernama sendok mutiara. Namanya keren, tetapi game ini plesetan dari game balap kelereng dalam sendok. Berhubung kami tidak menemukan kelereng, mutiara tiruan pun jadi. Untuk sampai di start game pertama yang berjarak sekitar 20 mete dari aula pendopo, para peserta harus berkendara menggunakan lingkaran rafia untuk sampai di sana. Begitu pula untuk menuju ke start game kedua. Game kedua lebih seru, balap makan krupuk. Para peserta bersorak sorai mendukung setiap anggota kelompoknya yang tampil beradu kekuatan. Terlebih Yasin, Huda, dan Toha. Semua masih antusias meski terik mulai membuat tato di kulit kami.
Hah! Capeknya. Kaki kami terasa rempong dan tenggorokan kami serak akibat teriak-teriak memimpin jalannya outbond. Game selesai. Kami kembali ke pendopo untuk melepas lelah. Lunglai. Sebagian ada yang pergi jalan-jalan. Sebagian juga ada yang memilih berteduh di dalam pendopo.
Pukul 11.00, season sharing-sharing. Dalam sharing-sharing ini, semua peserta leluasa menceritakan apa saja yang berkaitan dengan PMII, baik dari segi postif dan negatifnya, alasan-alasan masuk PMII (sudah pernah ditanyakan pada waktu MAPABA), hal yang tidak disukai dari PMII, tujuan ikut PMII, dan masih banyak lagi. Selama dua setengah jam itu, kami bercerita. Ada yang menangis, ada yang menganggapi dengan emosi, ada pula yang terharu. Semua berbaur menjadi satu dalam lukisan-lukisan kisah perjalanan PMII yang lain. Di sinilah letak keharubiruan. Ada banyak hal yang dapat kita pelajari di PMII untuk kehidupan kita sahabat/ sahabati. Jika ada yang merasa terpaksa, sesungguhnya itu bukan paksaan, melainkan tanggung jawab. Kita harus ingat, kita bukan siswa SMA/ MA lagi. Status kita sudah mahasiswa. Siapa lagi yang akan mengubah hidupmu kalau bukan kamu sendiri? Orang lain tidak akan bisa, termasuk kedua orang tuamu.
Sharing-sharing berlalu. Waktunya makan siang. Nah, nah! Aku yakin Toha bertambah semangat. Pasalnya, selama season sharing-sharing dia duduk sampingku. Dia kelihatan lemas tak berdaya.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu lagi. Haduh! Perkiraanku benar. Undangan yang kusebar via sms untuk alumni tadi malam nggak mempan. Sampai pukul 14.00 belum ada tanda-tanda yang menunjukkan kedatangan alumni. Aku merasa bersalah. Makan siang pun jadi tak enak. Barulah setelah mengunyah sesendok nasi HP-ku berdering. Trinting ting ting ting. Amazing. Dari alumni. Aku tergopoh-gopoh menerima panggilannya mengingat posisiku saat itu sedang mengunyah. Dalam tanya jawab selama di telepon, beliau menanyakan, “Apakah acaranya sudah selesai?” Tanpa pikir panjang aku menjawab, “Belum. Masih lama.” Setelah telepon terputus, aku beranjak mencari anak laki-laki untuk menjemputnya. Andre. Dialah pahlawan yang menjemput kakak alumni untuk sampai di TKP. Oh ya, aku baru menyadari kalau saat itu aku telah berbohong. Padahal, setelah beliau sampai di sana, acara sudah mencapai puncak. Maaf ya, Kakak. Namun, kedatanganmu memang kami nantikan.
Puncak acara adalah perkenalan ketua umum cabang kota Semarang dilanjutkan foto bersama dan jalam-jalan ke pantai Marina. Waw sekali. Tampaknya acara SIKRAB ini benar-benar mengakrabkan kami. Namun, ada sedikit kekecewaan. Dua game lain yang kami rencanakan sampai larut malam ternyata gatot (gagal total). Huhuhu. Percuma dong bawa ember, gunting kertas, dan botol Aqua. Nggak apa-apalah yang penting acaranya sukses. Betul kan Efa dan Diana?
Langit masih tetap biru memelihara keagungan sinar surya. Tiupan angin di pantai Marina seakan mengajak kami bergurau. Ia menelisik dan mengganggu lengkung jilbab kami. Ya, hampir-hampir kami sebal. Namun, inilah karunia Tuhan yang harus kita syukuri. Sebelum berpisah setelah mengarungi laut di atas kapal, tak lupa kami foto together lagi. Maklum, tampang narsis. Satu. Dua. Tiga. Jepret. Jepret. Pindah posisi. Jepret. Alhamdulillah. Untung dapat pinjaman kamera dari Vokal. Temanya kali ini sebagian besar pinjaman.
Kami dan seluruh panitia yang bertugas mengucapkan terima kasih atas kesediannya mengikuti acara ini dan selamat berjuang bersama PMII. HIDUP MAHASISWA!
Malam itu, Sabtu (22/12), kami (aku, Efa, Diana, Zuhri, Yasin, Aklis, Toha, Andre, dan Huda) sedang rapat gladi bersih persiapan SIKRAB yang akan kami laksanakan besok (23/12) di Maerokoco – PRPP. Kami benar-benar galau. Terlebih sang Ketua Panitia, Sahabat Zuhri. Dari beberapa peserta yang sudah terdaftar dalam acara SIKRAB (Siang Keakraban, sebenarnya nama acaranya MAKRAB, tetapi karena acara ini berlangsung pada siang hari, maka pihak panitia berinisiatif membentuk akronim SIKRAB – Siang Keakraban), ada yang belum bayar iuran. Bah! Bagaimana ini? Hal itu tentu saja membuat sang bendara, Sahabat Aklis, kebingungan dan sedikit galau. Untungnya, Aklis sudah mahir mengatasi masalah keuangan (mungkin karena kebiasaannya mengatur lalu lintas uang pulsa), jadi beban kami sedikit berkurang. Sahabat yang satu ini memang ahli dalam urusan ekonomi. Dengan lincah, ia telah mendaftar kebutuhan yang kami perlukan selama acara berlangsung. Mulai dari transportasi, sewa tempat, konsumsi, dan lain-lain.
Selanjutnya masalah penginapan. Bentrok semakin hebat ketika di antara peserta rapat yang telah ku sebutkan di atas beradu pendapat. Alasan yang disampaikan sahabat Yasin selaku pihak yang survei tempat cukup logis. Menginap maupun tidak menginap harga sewa tempatnya tetap sama. Menginap. Tidak. Menginap. Tidak. Akhirnya, kami mengambil keputusan; masalah menginap atau tidak kita serahkan saja pada peserta SIKRAB (eh, malah lupa tidak disampaikan, biasa faktor U).
Masalah keuangan dan penginapan clear. Ada lagi hal yang sangat tidak patut untuk dilupakan dan tidak kalah pentingnya. Ya, konsumsi. Ini adalah hal yang sangat disukai oleh Toha. Alhamdulillah jangan khawatir, berkat wejangan dari Mbak Fida dan Mbak Nia kepada sie konsumsi, sahabat Diana, semua beres.
Rapat bagian terakhir mengenai undangan untuk alumni. Lagi-lagi kami galau. Alumni diundang atau tidak ya? Soalnya acara hanya satu hari. Tak lama berpikir, Zuhri menyarankan untuk mengundang alumni dan akulah PJ-nya. Haduh! Undangan mendadak? Apa mungkin datang? Segera saja ku daftar nama-nama alumni untuk dihubungi. Mas Muhajir Arrosyid, Mbak Rini, Kak Hajir, Mas Fitor,Mas Andre, Mbak Dovi, dan Mas Priyo. Waktu itu hanya nama-nama itulah yang berhasil tertangkap oleh ingatanku (maaf ya Mas-mas dan Mbak-mbak yang lain).
Waw! Sip! Rapat selesai. Benar-benar super. Saatnya membantu sie konsumsi berbelanja. Udara dingin semakin menelusup di sela-sela rintik hujan yang jatuh beriringan. Meskipun begitu, kami tetap semangat melawan air-air yang menetesi atap wisma. Diana dan Efa tetap gigih menerjang guyuran air untuk membeli snack dan perlengkapan lain setelah mendapat pesangon dari Aklis. Akupun tak mau kalah. Bersama Pak Ketua Panitia, Zuhri, kuikuti jejak mereka berperang melawan gigitan dingin dalam cipratan air yang menggenang di jalan berlubang untuk membeli air kardus dan air galon. Beberapa menit berlalu. Kami semua kembali berkumpul di wisma. Basah kuyup, tapi tidak apa-apa demi PMII. Jiah! Urusan konsumsi sedikit berkurang, tinggal masalah sarapan dan makan siang buat besok.
Tak terasa waktu menujukkan pukul 22.00. Kami bergegas kembali ke kos masing-masing. Jujur saja. Sebagai sie acara, aku masih dilanda kegalauan yang berlebih. Sekarang memang benar-benar baru musim galau, ya? Sampai detik itu, aku bersama kedua orang temanku yang sering ku sapa Jad dan Dul masih bingung menentukan konsep acara buat besok. Bagaimana tidak? Konsep acara sering berubah. Dari dua hari yang telah disepakati, kini hanya dikerucutkan menjadi satu hari tok. Mereka memang sahabat ter-JOS. Seolah dapat membaca tanda tanya abstrak yang muncul dari kepalaku, mereka memberiku pencerahan (jiah, kayak Mbah Dukun).
Sepulang rapat, kami berjibaku merembuk persiapan outbond SIKRAB PMII. Malam itu, Efa sengaja ku bujuk untuk tidur di kosku. Berhasil. Meski dengan merintih karena takut ketahuan penjaga kos, toh akhirnya dia mau tidur di kosku juga. Kami bertiga rapat persiapan outbond hingga larut malam. Acara yang satu ini harus dibuat semenarik mungkin karena inti dari acara ini adalah menciptakan keakraban. Begitu pikirku meyakinkan mereka.
Di antara pekat malam, desir rintik hujan perlahan berkurang. Titik-titik air yang sejak sore menciptakan suasana sendu, kini hampir tak terdengar lagi. Kami bertiga bertukar pendapat. Serius. Suasana hening. Sering juga kami slenco hingga mengakibatkan kami terbahak. Ini nggak boleh gagal. Wah, benar-benar melelahkan. Mulai dari gunting kertas, mewarnai kertas dengan crayon (yang lebih parah lagi, crayonnya pinjam), menyiapkan ember (pinjam juga), plastik, sendok (pinjam),tali raffia, mutiara tiruan (minta Efa), piring (pinjam), botol Aqua, dan lain-lain.
Di tengah suara jangkrik dan bisikan angin malam, tiba-tiba salah satu di antara kami berucap, ”Aku lapar”. Haduh, gimana ini? Anak orang dibiarkan kelaparan tengah malam. Saat menulis ini, aku jadi teringat kata-kata dalam kaos KePIK yang didesain oleh Mas Muhajir Arrosyid. Begini kata-katanya, “Jangan bilang dirimu kaya jika tetanggamu memakan bangkai kucingnya orang-orang miskin – WS. Rendra”. Waw! Tajam rek! Dengan sigap, Diana mengeluarkan sebungkus Indomie Cabai Hijau dari plastik kresek putihnya. Mejikom adalah andalan kami untuk melunakkan mie instan itu. Sambil menunggu rebusan mie dalam mejikom, kami melanjutkan perencanaan outbond. Diselingi guyonan, kami mengobrol tentang bagaimana kelangsungan acara besok. Pasti seru! Begitulah perkiraan kami.
Malam kian sepi. Kami mulai mengantuk. Krucuk. Krucuk. Astaga! Ups! Bagaimana dengan keadaan mie dalam mejikom? Ha? Lupa! Seperti kebakaran jenggot, Diana melompat dan cia set set set. Dia segera mencabut colokan kabel mejikom. Untung tidak gosong. Alhamdulillah. Setelah itu, Diana langsung mencampur bumbu dan rebusan mie tadi. Walaupun terlalu matang dan agak sedikit lembek, tidak apa-apalah yang penting perut kami terisi. Huah! Ngantuk!
Tepar! Zzz...
***
Waktu seolah berlari. Suara krasak-krusuk teman kos lain membuat kami harus merelakan diri untuk segera bangun. Rasanya baru empat jam yang lalu kami tidur, sekarang saatnya siap-siap. Hadeh, dinginnya. Efa ku antar pulang. Kemudian aku dan Diana siap-siap. Kami akan ke pasar Langgar dahulu untuk membeli krupuk dan perlengkapan outbond. Sial. Di tengah jalan sepulang dari pasar, tiba-tiba dari belakang terdengar suara, “Krupuk. Krupuk!” Aku yang waktu itu membawa tujuh renteng krupuk plastik, sontak menengok ke belakang. Dia adalah laki-laki seusiaku yang sedang bersepeda. Haduh, mana ada penjual krupuk sepertiku? Aku merasa geram. Mungkin Diana yang sedang berjalan menggiringku ikut tertawa.
Sesampainya di kos, aku dan Diana segera meluncur ke wisma dengan Supra X 125 kepunyaan Toha yang kami bawa selepas rapat malam itu. Andai saja anak-anak PMII bawa kendaraan semua maka tak perlu sewa angkot ketika ada acara. Sekilas aku teringat kata-kata Yasin tentang usulannya mengkreditkan motor untuk anak-anak PMII yang tidak membawa kendaraan. Berkaitan dengan urusan pembayaran dapat dicicil setiap hari selama masih berstatus sebagai mahasiswa IKIP. Jika sampai lulus belum lunas, maka dengan terpaksa motor diambil deller kembali beserta uang ganti ruginya (mengenaskan).
Kembali lagi ke SIKRAB. Ketika aku dan Diana sampai di wisma, kami langsung disambut oleh sang ketua panitia. Dia sangat semangat. Dengan tergopoh-gopoh, Zuhri membantu kami menurunkan barang bawaan yang susah payah kami bawa dari kos. Ya, dua ember, botol Aqua, krupuk, dan masih banyak lagi. Kami berdua mengaso sebentar. Aku dan Diana duduk di sofa amblong kebanggaan wisma. Tarra! Mereka yang ada di wisma terlihat senang saat aku menunjukkan sesuatu. Ini adalah barang ndeso. Namun, karena kendesoannya itulah mereka suka. Biasa wajah ndeso. Apalagi kalau bukan glethuk, klepon, dan cethot. Benar-benar ndeso. Makanan itu aku dapatkan di pasar Langgar bersama Diana. Mereka begitu antusias melahap setiap parutan kelapa pada makanan-makanan ajaib itu. Jarang ditemukan pemandangan seperti ini.
Dari lima bungkus makanan ndeso itu, kini tinggal tiga bungkus. Rencananya, ketiga bungkus itu akan kami berikan pada Huda yang sejak selesai rapat mengaku ingin jajanan dan untuk sahabat/i yang lain. Alhasil, ketiga bungkus campuran cethot, glethuk, dan klepon itu lenyap di perut anak-anak wisma lain. Maaf Huda.
Peserta sudah kumpul. Tulit. Tulit. Tulit. Ponsel Zuhri berbunyi. Aklis membeitahukan bahwa kedua angkot yang kami sewa sudah tiba. Saatnya berangkat menuju TKP. Cuus!
Aku diantar Zuhri menuju perpustakaan kampus, kesepakatan tempat berkumpul semua peserta dan panitia. Ya, benar saja. Di sana sudah berkumpul para peserta SIKRAB. Kami bergegas. Galon, air kardus, ember, dan snack, kami masukkan ke dalam angkot. Sip. Siap cap cus. Meluncur.
Selama sekitar 20 menit lepas dari pukul 07.00, kami menyusuri jalan. Pak Angkot dengan lihai menyalip kendaraan lain. Cihuy. Kendaraan yang ku tumpangi mendahului angkot lainnya. Kami bersorak gembira layaknya anak kecil. Di tengah perjalanan, aku mengingat sesuatu. Sepertinya aku pernah lewat jalan ini? Benar saja. Ini kan jalan menuju pantai Marina? Haduh, LOLAnya diriku. Woles. Woles. Ups. Maaf Zuhri, aku menggunakan kata-kata itu lagi.
Tak sampai menunggu kelelahan, kami sudah tiba di lokasi. Seperti biasa, hal pertama yang dilakukan anak-anak setelah sampai di sana selain memberi salam adalah… Betul! Foto-foto. Narsis sebentar. Tidak apa-apalah. Hitung-hitung menghibur diri akibat nggak kesampaian jadi model. Astaghfirullah.
Waktu menunjukkan pukul 08.00. Semua peserta dan panitia berkumpul di pendopo miniatur kota Kudus untuk melakukan upacara pembukaan dan dilanjutkan sarapan. Ya ya ya. Awas! Jangan ingat-ingat Toha, please. Nanti dia protes.
Setelah sarapan, inilah saatnya senang-senang. Game! Yeee! Game ini dipimpin oleh Efa, aku, dan Diana sesuai kesepakatan tadi malam. Sebelum game dimulai, lima kelompok yang masing-masing beranggotakan tiga sampai empat orang ini diwajibkan membuat yel-yel yang berhubungan dengan semangat PMII. Sambil menunggu mereka menciptakan yel-yel, kami bertiga menyiapkan perlengkapan game. Sendok, mutiara tiruan, rafia, dan krupuk. Sudah dapat ditebak sendiri kan jenis permainannya apa? Ya iyalah, kan sudah berlalu. Oh ya, ada hal yang hampir lupa. Maaf ya, krupuknya terburu kena angin, jadinya alot deh. Hehe.
Next. Waktunya bergame. Semua kelompok digiring ke aula yang terletak di depan pendopo. Sebelum mereka menunjukkan unjuk kebolehannya, perwakilan masing-masing kelompok mendapatkan undian lagi agar tidak terkesan monoton; kelompok satu tampil pertama, kelompok dua tampil nomor dua, dan seterusnya. Aksi dimulai. Mereka tampil sesuai undian yang didapat. Yel-yel yang mereka tampilkan cukup menarik. Lumayanlah buat penghibur di kala tugas akhir semester numpuk. Refreshing itu perlu sebagai salah satu tips awet muda.
Game pertama bernama sendok mutiara. Namanya keren, tetapi game ini plesetan dari game balap kelereng dalam sendok. Berhubung kami tidak menemukan kelereng, mutiara tiruan pun jadi. Untuk sampai di start game pertama yang berjarak sekitar 20 mete dari aula pendopo, para peserta harus berkendara menggunakan lingkaran rafia untuk sampai di sana. Begitu pula untuk menuju ke start game kedua. Game kedua lebih seru, balap makan krupuk. Para peserta bersorak sorai mendukung setiap anggota kelompoknya yang tampil beradu kekuatan. Terlebih Yasin, Huda, dan Toha. Semua masih antusias meski terik mulai membuat tato di kulit kami.
Hah! Capeknya. Kaki kami terasa rempong dan tenggorokan kami serak akibat teriak-teriak memimpin jalannya outbond. Game selesai. Kami kembali ke pendopo untuk melepas lelah. Lunglai. Sebagian ada yang pergi jalan-jalan. Sebagian juga ada yang memilih berteduh di dalam pendopo.
Pukul 11.00, season sharing-sharing. Dalam sharing-sharing ini, semua peserta leluasa menceritakan apa saja yang berkaitan dengan PMII, baik dari segi postif dan negatifnya, alasan-alasan masuk PMII (sudah pernah ditanyakan pada waktu MAPABA), hal yang tidak disukai dari PMII, tujuan ikut PMII, dan masih banyak lagi. Selama dua setengah jam itu, kami bercerita. Ada yang menangis, ada yang menganggapi dengan emosi, ada pula yang terharu. Semua berbaur menjadi satu dalam lukisan-lukisan kisah perjalanan PMII yang lain. Di sinilah letak keharubiruan. Ada banyak hal yang dapat kita pelajari di PMII untuk kehidupan kita sahabat/ sahabati. Jika ada yang merasa terpaksa, sesungguhnya itu bukan paksaan, melainkan tanggung jawab. Kita harus ingat, kita bukan siswa SMA/ MA lagi. Status kita sudah mahasiswa. Siapa lagi yang akan mengubah hidupmu kalau bukan kamu sendiri? Orang lain tidak akan bisa, termasuk kedua orang tuamu.
Sharing-sharing berlalu. Waktunya makan siang. Nah, nah! Aku yakin Toha bertambah semangat. Pasalnya, selama season sharing-sharing dia duduk sampingku. Dia kelihatan lemas tak berdaya.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu lagi. Haduh! Perkiraanku benar. Undangan yang kusebar via sms untuk alumni tadi malam nggak mempan. Sampai pukul 14.00 belum ada tanda-tanda yang menunjukkan kedatangan alumni. Aku merasa bersalah. Makan siang pun jadi tak enak. Barulah setelah mengunyah sesendok nasi HP-ku berdering. Trinting ting ting ting. Amazing. Dari alumni. Aku tergopoh-gopoh menerima panggilannya mengingat posisiku saat itu sedang mengunyah. Dalam tanya jawab selama di telepon, beliau menanyakan, “Apakah acaranya sudah selesai?” Tanpa pikir panjang aku menjawab, “Belum. Masih lama.” Setelah telepon terputus, aku beranjak mencari anak laki-laki untuk menjemputnya. Andre. Dialah pahlawan yang menjemput kakak alumni untuk sampai di TKP. Oh ya, aku baru menyadari kalau saat itu aku telah berbohong. Padahal, setelah beliau sampai di sana, acara sudah mencapai puncak. Maaf ya, Kakak. Namun, kedatanganmu memang kami nantikan.
Puncak acara adalah perkenalan ketua umum cabang kota Semarang dilanjutkan foto bersama dan jalam-jalan ke pantai Marina. Waw sekali. Tampaknya acara SIKRAB ini benar-benar mengakrabkan kami. Namun, ada sedikit kekecewaan. Dua game lain yang kami rencanakan sampai larut malam ternyata gatot (gagal total). Huhuhu. Percuma dong bawa ember, gunting kertas, dan botol Aqua. Nggak apa-apalah yang penting acaranya sukses. Betul kan Efa dan Diana?
Langit masih tetap biru memelihara keagungan sinar surya. Tiupan angin di pantai Marina seakan mengajak kami bergurau. Ia menelisik dan mengganggu lengkung jilbab kami. Ya, hampir-hampir kami sebal. Namun, inilah karunia Tuhan yang harus kita syukuri. Sebelum berpisah setelah mengarungi laut di atas kapal, tak lupa kami foto together lagi. Maklum, tampang narsis. Satu. Dua. Tiga. Jepret. Jepret. Pindah posisi. Jepret. Alhamdulillah. Untung dapat pinjaman kamera dari Vokal. Temanya kali ini sebagian besar pinjaman.
Kami dan seluruh panitia yang bertugas mengucapkan terima kasih atas kesediannya mengikuti acara ini dan selamat berjuang bersama PMII. HIDUP MAHASISWA!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar