Mengenal Perbedaan Semantik dan
Pragmatik
Daripada mengendap di folder
yang bakal jarang dibuka, saya ingin “menitipkan” file dari tugas kuliah ini di
kompasiana, sekaligus siapa tahu dapat menambah pengetahuan kompasianers. Bagi
yang tertarik mengkaji linguistik umumnya dan dua cabangnya ini khususnya,
siapa tahu bisa berdiskusi di sini. Maaf tulisan masih amburadul, semoga masih
jelas dapat dibaca dan dipahami. ^___^
****
Kaijan tentang tanda dan cara
tanda-tanda itu bekerja dalam komunikasi manusia berupa bahasa telah
mendapatkan perhatian dari para ilmuwan di masa lalu. Ilmu tentang hubungan
antara penanda dan petanda itu disebut semiotika. Morris (1938) mengatakan
bahwa dalam semiotika terdapat tiga bidang kajian, yakni sintaksis (syntax),
semantik (semantics), dan pragmatik (pragmatics). Sintaksis
adalah kajian tentang hubungan formal antartanda; semantik menganalisis
hubungan tanda dengan objek tanda tersebut (designata); sedangkan pragmatik
melihat hubungan tanda dengan orang yang menginterpretasikan tanda itu.
“Pragmatics is that portion of
semiotic which deals with the origin, uses and effects of signs within the
behavior in which they occur; semantics deals with the signification of signs
in all modes of signifying; syntactics deals with combinations of signs without
regard for their specific significations or their relation to the behavior in
which they occur” (Morris, 1946: 219 via Bach 1999:81).
Ketiga bidang tersebut memperlakukan
dan mempelajari tanda secara berbeda-beda. Adapun dalam makalah ini, akan
direpresantasikan perbedaan kajian tanda bahasa antara dua bidang, yakni
semantik dan pragmatik, dari ketiga bidang tersebut.
Sekilas Semantik
Semantik (Bahasa Yunani: semantikos,
memberikan tanda, penting, dari kata sema, tanda) adalah cabang linguistik yang
mempelajari makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi
lain. Kata kerjanya adalah‘semaino’ yang berarti ‘menandai’atau ‘melambangkan’.
Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik (Perancis
: signé linguistique).
Menurut Ferdinand de Saussure, tanda
lingustik terdiri atas komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa,
dan komponen yang diartikan atau makna dari komopnen pertama. Kedua komponen
ini adalah tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adaah
sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai
referent/acuan/hal yang ditunjuk. Jadi, semantik adalah Ilmu yang mempelajari
hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya; atau
salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang makna bahasa (Hurford, 1984:1).
Sekilas Pragmatik
Pragmatik adalah kajian tentang
hubungan antara bahasa dengan konteks ditatabahasakan atau yang dikodekan pada
struktur bahasa (Pragmatics is the study of those relations between language
and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a
language) (Levinson, 1985: 9). Dengan kata lain, pragmatik adalah studi tentang
penggunaan bahasa dalam konteks. Pragmatik berfokus pada bagaimana penutur atau
penulis menggunakan pengetahuan mereka untuk menyatakan suatu makna (Bloomer,
2005:78).
Perbedaan konvensional
Semantik dan pragmatik adalah dua
cabang utama dari studi linguistik makna. Keduanya diberi nama dalam judul buku
itu dan mereka akan diperkenalkan di sini. Semantik adalah studi dari untuk
arti: pengetahuan akan dikodekan dalam kosakata bahasa dan pola untuk membangun
makna lebih rumit, sampai ke tingkat makna kalimat. Adapun pragmatik berkaitan
dengan penggunaan alat-alat ini dalam komunikasi yang bermakna. Pragmatik
adalah tentang interaksi pengetahuan semantik dengan pengetahuan kita tentang
dunia, mempertimbangkan konteks yang digunakan. Secara konvensional, perbedaan
antara semantik dan pragmatik dinilai berdasarkan tiga hal: (1) linguistics
meaning vs. use, (2) truth-conditional vs. non-truth-conditional meaning,
dan (3) context independence vs. context dependence (Bach, dalam Turner
1999:70). Berikut penjelasannya.
Linguistics meaning vs. use
Linguistics meaning atau makna
linguistik (bahasa) dibedakan dengan use atau pemakaiannya. Secara sepintas,
semantik dan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang sama-sama menelaah
makna-makna satuan lingual. Perbedaannya, semantik mempelajari makna linguistik
atau makna bersifat internal, sedangan pragmatik mempelajari makna penutur atau
makna dalam penutur dan bersifat eksternal yang berhubungan dengan konteks.
Dengan kata lain, semantik mempelajari arti harfiah dari sebuah, ide sedangkan
pragmatik adalah makna tersirat dari ide yang diberikan.
Bila diamati lebih jauh, makna yang
menjadi kajian dalam semantik adalah makna linguistik (linguistics meaning)
atau makna semantik (semantic sense), sedangkan yang dikaji oleh pragmatik
adalah maksud penutur (speaker meaning atau speaker sense) (verhaar, 1977;
Parker, 1986:32). Semantik adalah telaah makna kalimat (sentence), sedangkan
pragmatik adalah telaah makna tuturan (utterance). Semantik adalah ilmu
linguistik yang mempelajari makna yang terkandung di dalam morfem, kata, frasa,
dan kalimat yang bebas konteks. Makna linguistik di sini adalah makna yang
terdapat di dalam bahasa, yang distrukturkan di dalam dan oleh sistem bahasa,
yang dipahami lebih kurang sama oleh para penutur dalam kegiatan berkomunikasi
secara umum dan wajar (Subroto, 1999:111). Dalam pragmatik maksud penutur
(speaker meaning atau speaker sense) yaitu bahwa sense berhubungan erat dengan
suatu system yang kompleks dari elemen linguistik, yaitu kata-kata. Sense
menitikberatkan pada makna kalimat dan hubungannya dengan makna kata (Palmer,
1981:9). Dapat dikatakan bahwa maksud penutur di sini tidak terlepas dari konteks
kalimat, apa yang dimaksud penutur belum tentu sama dengan yang dimaksud oleh
lawan tutur.
Dalam pragmatik jika dalam
pemakaiannya terjadi kesalahan pemakaian tatabahasa yang disengaja oleh
penutur, maka dikatakan bahwa terdapat maksim(-maksim) tindak tutur yang
dilanggar. Sementara itu, semantik tidak menganalisis bahasa dari sisi
pemakaiannya sehingga jika terjadi kesalahan penutur yang disengaja, semantik
tidak dapat menentukan meaning sesungguhnya dari penutur tersebut karena hanya
didasarkan atas meaning secara umum.
Contoh:
Dalam kalimat berikut, B menjawab
pertanyaan A dengan setidaknya tiga kemungkinan cara untuk menyatakan ”belum”
atau “tidak ingin makan”.
A : siang ini kamu sudah makan?
B(1) : saya belum makan. Tapi saya
tidak ingin makan.
B (2) : saya sudah makan barusan.
(berbohong)
B(2) : saya masih kenyang, kok.
Untuk mengatakan maksudnya, B
setidaknya dapat mengutarakan dengan tiga tuturan: B(1) secara langsung
menyatakan maksud dan alasannya; B(2) dengan berbohong, secara tidak langsung
ia menyatakan tidak ingin makan; B(3) demi alasan kesopanan, dan secara tidak
langsung juga, mengimplikasikan ia tidak ingin makan. Untuk menjawab pertanyaan
A, meskipun juga tidak dapat menjelaskan dengan sangat tepat, semantik hanya
dapat menganalisis meaning dengan jelas pada kalimat B(1) karena kalimat
tersebut secara langsung menjawab pertanyaan A, namun semantik tidak dapat
menjelaskan secara tepat meaning dari B(2) dan B(3) karena B menjawabnya secara
tidak langsung sehingga memerlukan pemahaman terhadap situasi di sekitarnya.
Truth-conditional vs.
non-truth-conditional meaning
Cruse (2006:136) memuat
perbedaan-perbedaan antara semantik dan pragmatik. Semantik berhubungan dengan
aspek-aspek truth conditional makna, yaitu jika sebuah pernyataan harus dapat
diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis, misalnya ‘kucing
menyapu halaman’ adalah yang tidak berterima secara semantik karena tidak dapat
diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika.
Blackmore mengutarakan tentang truth
conditional semantics, yaitu apabila kita melihat suatu frasa/kalimat/satuan
bahasa yang dapat diverivikasi kebenarannya, satuan bahasa berhubungan dengan
aspek-aspek makna yang bebas konteks, misalnya kata “I’m sorry” sulit untuk
menemukan verifikasi apakah orang yang menyatakan frasa tersebut benar-benar
minta maaf atau tidak.
Semantik berhubungan dengan
aspek-aspek makna konvensional, yakni bahwa terdapat hubungan yang tetap antara
makna dan bentuk serta semantik berhubungan dengan deskripsi makna sehingga
dikatakan bahwa semantik mengambil pendekatan formal dengan memfokuskan bentuk
fonem, morfem, kata, frasa, klausa dan kalimat. Sementara itu, pragmatik
berhubungan dengan aspek-aspek non-truth conditional makna, berhubungan dengan
aspek-aspek yang memperhitungkan konteks, berhubungan dengan aspek-aspek makna
yang tidak looked up, tetapi worked out pada peristiwa penggunaan tertentu dan
pragmatik berhubungan dengan penggunaan-penggunaan makna tersebut, oleh karena
itu pragmatik dikatakan mengambil pendekatan fungsional.
Context independence vs. context
dependence
Yang dimaksud dengan makna secara
internal adalah makna yang bebas konteks (independent context); maksudnya,
makna tersebut dapat diartikan tanpa adanya suatu konteks atau makna yang
terdapat dalam kamus, sedangkan makna yang dikaji secara eksternal, yaitu makna
yang terikat konteks (context dependent) maksudnya satuan-satuan bahasa dalam
suatu tuturan tersebut dapat dijelaskan apabila ada suatu konteks, yaitu
konteks siapa yang berbicara, kepada siapa orang itu berbicara, bagaimana
keadaan si pembicara, kapan, dimana, dan apa tujuanya sehingga maksud si
pembicara dapat dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya. Tanpa memahami
konteks, lawan tutur bahasa akan kesulitan memahami maksud penutur. Konteks di
sini meliputi tuturan sebelumnya, penutur dalam peristiwa tutur, hubungan antar
penutur, pengetahuan, tujuan, setting social dan fisik peristiwa tutur (Cruse,
2006:136).
Contoh :
1. Prestasi kerjanya yang bagus
membuat ia dapat diangkat untuk masa jabatan yang kedua
2. Presiden itu sedang menuruni
tangga pesawat
Dalam contoh di atas kata bagus dan
presiden mempunyai makna semantik atau makna secara internal, sedangkan secara
eksternal, bila dilihat dari penggunaanya kata bagus tidak selalu bermakna
‘baik’ atau ‘tidak buruk’. Begitu juga presiden tidak selalu bermakna ‘kepala
negara’ seperti dalam contoh:
3. Ayah : Bagaimana nilai ujianmu?
Budi : Iya, hanya dapat 50, pak.
Ayah : Bagus, besok jangan belajar.
4. Awas, presidennya datang!
Kata bagus dalam (3) tidak bermakna
‘baik’ atau tidak buruk’, tetapi sebaliknya. Sementara itu, bila kalimat (4)
digunakan untuk menyindir, kata presiden tidak bermakna ‘kepala negara’, tetapi
bermakna seseorang yang secara ironis pantas mendapatkan sebutan itu.
Sehubungan dengan keterikatan itu tidak hanya bagus dalam dialog (3) bermakna
‘buruk’, melainkan besok jangan belajar dan nonton terus saja juga bermakna
‘besok rajin-rajinlah belajar’ dan ‘hentikan hobi menontonmu’.
Berlawanan dengan banyak formulasi
yang telah muncul sejak awal perumusan Morris
pada tahun 1938, perbedaan
semantik-pragmatik tidak
tidak sesuai antara satu perumusan
dengan perumusan lainnya(Bach dalam Turner, 1999: 73).
Menurut Bach, perumusan perbedaan
semantik-pragmatik dapat mengambil perbedaan dengan mengacu pada fakta-fakta
bahwa:
• hanya isi literal yang relevan
secara semantis
• beberapa ekspresi sensitif dalam
hal konteks terhadap makna
• konteks yang dekat cukup relevan
dengan semantik, namun untuk konteks luas lebih dekat ke pragmatik
• non-truth-conditional
(kebenaran-tak-bersyarat) menggunakan informasi terkait agar bahasa dapat
dikodekan
• aturan dalam menggunakan ekspresi
tidak menentukan penggunaannya secara aktual
• kalimat yang diucapkan sebenarnya
adalah fakta pragmatis
Sejumlah perbedaan istilah
Untuk menggambarkan perbedaan
semantik-pragmatik adalah dengan membandingkan sejumlah istilah pada semantik
dan pragmatik:
• type vs. token
• sentence vs. utterance
• meaning vs. use
• context-invariant vs.
context-sensitive meaning
• linguistic vs. speaker’s meaning
• literal vs. nonliteral use
• saying vs. implying
• content vs. force
Perbandingan “meaning” antara
studi pragmatik dan semantik
Dalam komunikasi, satu maksud atau
satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud
“menyuruh” orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif,
kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif. Dengan demikian,
pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Pragmatik
berbeda dengan semantik dalam hal pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan
satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik
menelaah makna satuan lingual (kata atau kalimat) dengan satuan analisisnya
berupa arti atau makna.
Leech, (1983:8) mempermasalahkan
perbedaan antara ‘bahasa’ (langue) dengan ‘penggunaan bahasa’ (parole) yang
berpusat pada perbedaan antara semantik dan pragmatik. Langue adalah
keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antara para
anggota suatu masyarakat bahasa, sifatnya abstrak, sedangkan yang dimaksud
dengan parole adalah pemakaian atau realisasi langue oleh masing-masing anggota
masyarakat bahasa, sifatnya konkret, yaitu realitas fisis bahasa yang berbeda
dari orang yang satu dengan orang yang lain. Pragmatik dan semantik memiliki
kesamaan objek bahasan, yaitu berhubungan dengan makna. Kedua bidang kajian ini
berurusan dengan makna, tetapi perbedaan di antara mereka terletak pada
perbedaan penggunaan verba to mean berarti :
1. What does X mean? (Apa
artinya X)
2. What did you mean by X (Apa
maksudmu dengan X)
Dengan demikian dalam pragmatik
makna diberi definisi dalam hubungannya dengan penutur atau pemakai bahasa,
sedangkan dalam semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri
ungkapan-ungkapan dalam suatu bahasa tertentu, terpisah dari situasi, penutur
dan petuturnya.
Semantik memperlakukan makna sebagai
suatu hubungan yang melibatkan dua sisi (dyadic relation) atau hubungan
dua arah, yaitu antara bentuk dan makna, sedangkan pragmatik memperlakukan
makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga sisi (triadic relation) atau
hubungan tiga arah, yaitu bentuk, makna, dan konteks. Dengan demikian, dalam
semantik makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan-ungkapan
dalam suatu bahasa tertentu, terpisah dari situasi, penutur dan petuturnya,
sedangkan makna dalam pragmatik diberi definisi dalam hubungannya dengan
penutur atau pemakai bahasa.
Hubungan antara bentuk dan makna
dalam pragmatik juga dikaji oleh Yule (2001:5). Ia mendefinisikan pragmatik
sebagai studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan manusia si
pemakai bahasa bentuk-bentuk itu. Definisi ini dipertentangkan dengan definisi
semantik, yaitu sebagai studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik
dengan entitas di dunia bagaimana hubungan kata dengan sesuatu secara harfiah.
Lebih lanjut Yule menegaskan bahwa analisis semantik berusaha membangun
hubungan antara deskripsi verbal dan pernyataan-pernyataan hubungan di dunia
secara akurat atau tidak, tanpa menghiraukan siapa yang menghasilkan deskripsi
tersebut.
Frawley memberikan batasan makna
yang dimaksud dalam semantik dan pragmatik. Menurutnya “Context and use what is
otherwise known as pragmatics determine meaning. Linguistics semantics is
therefore secondary to an examination of context and uses”. Kemudian Finegan
menyebutkan bahwa “Sentence semantics is not concerned with utterance meaning.
Utterances are the subject of inverstigation of another branch of linguistics
called pragmatics”, sedangkan Parker membedakan makna dalam semantik sebagai
referensi linguistik (linguistic reference) dan makna dalam pragmatik sebagai
makna acuan penutur (speaker reference), (Nadar, 2009:3).
Perbedaan lainnya terlihat pada sisi
konvensionalitas. Makna semantik seringkali dikatakan bersifat konvensional,
sedangkan pragmatik bersifat non-konvensional. Dikatakan konvensional karena
diatur oleh tata bahasa atau menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan. Dapat
dikatakan bahwa sebuah ujaran menghasilkan implikatur percakapan tertentu dalam
suatu konteks tertentu bukanlah bagian dari konvensi manapun. Justru implikatur
ini hanya dapat diperoleh dengan mengambil penalaran dari hubungan antara makna
konvensional sebuah ujaran dengan konteksnya (Cummings, 1999:4).
Untuk melihat pentingnya pragmatik
dalam linguistik, Leech (dalam Eelen 2001:6) menyatakan perbedaan antara
semantik dan pragmatik: semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat
abstrak dan logis; sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran
dan daya (force) pragmatiknya. Meskipun makna dan daya adalah dua hal yang
berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan sebab daya mencakup juga
makna. Dengan kata lain semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan,
sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau
dikomunikasikan. Semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan
pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Kaidah berbeda dengan
prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau bersifat
mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya, sedangkan
prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat
bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan
dengan prinsip lain.
Menurut Katz (1971), semantik
bersifat ideasional. Maksudnya, makna yang ditangkap masih bersifat individu
dan masih berupa ide karena belum digunakan dalam berkomunikasi. Sementara itu,
pragmatik bersifat interpersonal. Maksudnya, makna yang dikaji dapat dipahami
atau ditafsirkan oleh orang banyak sehingga tidak lagi bersifat individu karena
sudah menggunakan konteks. Selain itu representasi (bentuk logika) semantik
suatu kalimat berbeda dengan interpretasi pragmatiknya.
Contoh :
“Kawan habis kuliah kita
minum-minum, yuk…”
Bila dikaji dari semantik, kata
‘minum-minum’ berarti melakukan kegiatan ‘minum air’ berulang-ulang, tidak
cukup sekali saja, sedangkan dari segi pragmatik, kata ‘minum-minum’ berarti
meminum-minuman keras (alkohol).
Selain itu, perbedaan kajian makna
dalam semantik dengan pragmatik juga terlihat pada segi jangkauan maknanya.
Pragmatik mengkaji makna di luar jangkauan semantik, atau lebih jauh daripada
yang dapat dijangkau oleh semantik.
Contoh :
Di sebuah ruang kelas, Dewi duduk di
depan kursi belakang. Lalu, ia berkata kepada gurunya, “Pak, maaf saya mau ke
belakang”
Kata yang bergaris bawah itu
’belakang’ secara semantik berarti lawan dari depan, berarti kalau dikaji
secara semantik, Dewi hendak ke belakang. Akan tetapi, jika dilihat dari
konteksnya, Dewi sudah duduk di deretan paling belakang. Tentu saja tidak
mungkin makna ‘belakang’ yang diartikan secara semantik yang dimaksud Dewi.
Dalam pragmatik dilibatkan dengan konteks. Konteksnya adalah keadaan Dewi yang
sudah duduk di belakang sehingga tidak mungkin ia minta izin untuk ke belakang
lagi. Biasanya, orang minta izin ke belakang untuk keperluan sesuatu, seperti
pergi ke toilet atau tempat lainya. Jadi, makna kata ‘belakang’ dalam kalimat
di atas tidak dapat dijelaskan secara semantik, hanya bisa dijelaskan secara
pragmatik. Maka dari itulah dinyatakan bahwa kajian makna pragmatik berada di
luar jangkauan semantik.
Perbedaan semantik dan pragmatik
menurut Levinson (1987: 1- 53):
Pragmatik
1. Kajian mengenai hubungan antara tanda
(lambang) dengan penafsirannya
2. Kajian mengenai penggunaan bahasa
3. Kajian mengenai hubungan antara
bahasa dengan konteks yang menjadi dasar dari penjelasan tentang pemahaman
bahasa
Semantik
1. Kajian mengenai hubungan antara
tanda (lambang) dengan objek yang diacu oleh tanda tersebut
2. Kajian mengenai makna
3. Kajian mengenai suatu makna tanpa
dihubungkan dengan konteksnya
KESIMPULAN
a. Semantik mempelajari makna, yaitu
makna kata dan makna kalimat, sedangkan pragmatik mempelajari maksud ujaran, yaitu
untuk apa ujaran itu dilakukan.
b. Kalau semantik bertanya “Apa
makna X?” maka pragmatik bertanya “Apa yang Anda maksudkan dengan X?”
c. Makna di dalam semantik
ditentukan oleh koteks, sedangkan makna di dalam pragmatik ditentukan oleh
konteks, yakni siapa yang berbicara, kepada siapa, di mana, bilamana,
bagaimana, dan apa fungsi ujaran itu. Berkaitan dengan perbedaan (c) ini,
Kaswanti Purwo (1990: 16) merumuskan secara singkat “semantik bersifat bebas
konteks (context independent), sedangkan pragmatik bersifat terikat
konteks (context dependent)”.
Sumber: tugas kuliah kelompok
Erwita, Gita, Icuk. hehehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar