Bintang di peraduan
Aku berbenah
Pada bintang inikah diriku bimbang
Tak tentu mata angin yang menggiring
“Tak tentu”
kutertawakan diriku yang bodoh
Lugu menyelimut disekujur tubuh
Ku mengiba pada wajahku yang tak tentu menghadap
Pucat pasi mulut pun terkunci
Haruskah aku terambang bersama bahtera di samudera
Untuk mementukan bintang diperaduanya sebagai arah
Dan ia mengedipkan cahanya demi sebutir pasir yang terapung
Biarlah ini menjadi prasasti yang tak kumengerti
Terkenang saat pintu mimpi-mimpi mulai terbuka
Saat tubuh ini tak lagi merasa sakit jika jatuh
dan hancur berkeping-keping dalam mimpi
sanggar 2011
Cermin
Satu langkah
Ya ..satu langkah dan terus melangkah
bersibaku untuk satu impian perubahan
hingga
Tak ada putaran sang mentari di siang hari
Meski hanya untuk sekedar menyapa bulan di malam hari
Mencium wanginya minyak kasturi
Melantun sembari melihat makna-makna
Sebab kepuasan jelas yang tak berujung
Kita kan tidur lalu bangun untuk tersenyum atau merintih
Terbukanya mata ini adalah sebuah kaca
gambar kan terlihat jelas
Saat esok hari lebih panjang dari pada hari ini
Mata pedang telah terlalu cepat menebas jarum jam
sampai sang cermin telah melihatkan keriput pada mata
sanggar 2011
Cermin-Cermin
Rupanya angin telah menyampaikan pesan
Dengan bahasa yang ia fahami sendiri
seperti gambar dan sajak yang tak perlu arti
dan tak perlu pula diterangkan
ia hanya menyimpan perasaan
Begitupun sahabatnya
Menari dan memuji tanpa henti
Bersenandung tanpa melodi dan menyanjung tanpa keindahan kata
Tatapan mata telah lupa akan hakikat sebuah rentetan dimana ia ada
Cermin-cermin berkilau tanpa rupa
Tanpa bayangan yang sama
melahirkan filsafat-filsafat rumit nan diagungkan
Dipuji namun tak butuh pujian
Cermin-cermin yang terlupakan
Diinjak-ijak dilukis diminum dibunuh
Hingga tak habis kata untuk didengungkan dan dinikmati
Semarang 2011
Tafsir Makna Kebisuan
inginku menampar jari jemarimu dengan pipiku
menyanyikanmu dengan nada melodi melo
hingga keromantisan menjadi suasana kita
ketenanganmu membenamkan sejuta impian
olehmu dengan satu perasaan
aku gembira ketika hujan mulai turun
terus terjun hingga mengetuk bumi dengan irama dentuman riuh
karena aku bisa menagis ditengah kerumunan yang melelehkan air mataku
menjerit sejadi mungkin hingga tak terdengar oleh siapapun
karena petikan nada-nada bumi menenggelamkan isak tangisku
kenapa ia harus menjadi danau
saat aku ingin mengalir
dan terjun untuk menjatuhkan suaraku
hingga terasa asri terdengar
dan kenapa aku harus digilakan pada tafsiran-tafsiran kemungkinan
dengan ulahnhya yang tenang
hanya bintik hujan inilah yang cukup menghapus dan musnah
setelah bergantian pecah mengetuk tanah
Rumah Gema 2011
Kebun Ilalang
Kebun ilalang
Liar namun indah dan menawan
Kutemukan kau diantara luasnya ilalang
Jika matahari terik disiang hari
Kurasakan kau sebagai secawan air yang menyegarkan
Kebun ilalang
Liar namun indah menawan
Terus meari di tengah rerumbukan
Mendayu pada angin yang merayu
Kebun ilalang
Liar namun indah menawan
Kala aku dahaga ditengah padang pasir
Kau datang sebagai air untukku
Kebun ilalang
Liar namun indah menawan
Saat aku tertidur
Kau adalah setumpuk kapas yang menghangatkanku
Kebun ilalang
Liar namun indah menawan
Sinarkan bintang-bintang
Oleh cahaya harapan
Kebun ilalang
Liar namun indah menawan
Meski padam sikapmu
Kau nyalakan api cinta dihatiku
Kampus 051011 2011
Biodata penulis:
Arifin Oce
Berasal dari Grobogan, lahir 28-08-1988
Mahasiswa PBSI Semester 5
Aktif di Teater Gema dan HIMA PBSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar