Halaman

Jumat, 23 Maret 2012

cerpen arifin oce

Pagi Bening, Sebuah Kesaksian


Suara adzan terdengar disaat fajar nan bening tiba. Cahaya kuning di pojok timur membelah ufuk di pinggir langit dengan kemilau cahayanya, Hingga manusia selalu merasa takjub dengan estetika alam itu. Sedikit-demi sedikit kian lama membuka mata sang mentari di peraduan timur. Ditiap sudut desa menggema suara yang telah dikenal dan akrab di telinga manusia, karena suara itu mengandung pujian kepada Rob semesta alam. Mengajak siapa saja untuk mendirikan rukun islam yang ke dua.
Dengungan lirik itu menandakan datangnya waktu subuh yang pekat dengan hawa dingin yang membeku. Sesekali suara ayam jantan ikut menngugah manusia dari lelapnya tidur. Udara dingin yang romantis kian merayu untuk tetap terjaga dari mimpi-mimpi. Hanya yang kuat imannya lah yang bisa menjaga manusia untuk tetap menjalankan amanahNYA.
Suara ayunan sepeda onta tua yang dipakai oleh warga desa kepasar terdengar mengerik seperti jangkrik, karena as ruji kendaraan kuno itu tak pernah diberi oli, hingga mudah diketahui saat dipakai untuk mengangkut barang-barang bawaan kepasar. Dengan sepeda itu para ibu-ibu asyik mengendarainya sembari membicarakan tentang banyak hal, hingga suara celotehanya terdengar di musholla tempat aku tidur. Disepanjang jalan mereka bicara banyak hal. Mengenai suami, anak, penghasilan hari kemarin, pembeli yang ngeyel, hingga membicarakan aib keluarganya sendiri maupun tetangganya. Tak tahukah mereka jika silatan lidahnya hari ini bisa menjadi tuah di ahirat nanti. lidah yang tanpa kekuatan tulang dipotong-potong layaknya irisan ketela yang akan dibuat ceriping.
Aku bangun dari tidur di musholla. Tradisi tidur di musolla bagi anak desa, sudah sangat akrab. Bahkan para orang tua yang punya anak lelaki remaja, menyarankan pada anaknya untuk tidur dimusholla. Agar bisa belajar bersama-sama temanya, yang masih duduk dibangku sekolah serta ngaji al qur’an setelah sholat subuh.
Aku beranjak untuk mengambil air wudlu, kemudian menunggu pak kiai Ahmad menyalakan pengeras suara untuk adzan. Sementara teman-temanku masih asik dengan sarung yang melinggkar ditubuhnya. berjejer seperti ikan pindang yang dijual dipasaran. Muttakin yang selalu khas dengan suara dengkuranya saat tidur, terkadang membuat teman-teman lainya mengerjainya. saat ia tertidur lelap, mereka menjailinya dengan mengilik hidungnya dengan rumput. Saat ia terbangun, geli karena ada sesuatu yang masuk keluar di hidung dan telinganya. Mereka pura-pura tidur agar tidak ketahuan. Setelah Muttakin bangun karena tak tahan ada yang tak beres, Mereka pura-pura tidur kembali sembari menahan ketawa. Setelah muttakin kembali tidur, lalu mereka terbahak-bahak karena melihatnya menjadi sesuatu yang lucu.
Biasanya setelah adzan aku menggugah mereka untuk menyuruh wudlu, lalu sholat jamaah subuh bersama. selesai sholat lalu ngaji Al qur’an dengan pak kiai Ahmad, bergiliran satu persatu. Namun kali ini aku memilih mengambil air wudu dulu. Lalu menunggu pengeras suara tak dinyalakan. Karena memang kontrol pengeras suara hanya bisa dinyalakan di rumah kia Ahmad. aku kawatir pak kiai Ahmad belum bangun. Kucoba untuk memberanikan diri untuk mengetuk pintu, tapi setelah sampai didepan pintu, kuurungkan niatku kembali. Lalu kucoba kembali untuk mengetuk pintu, kemudian tak jadi lagi. Hinga aku mondar-mandir layaknya setrika, yang hanya bisa berjalan maju mundur.
”yahya- yahya kenapa tak kau cepat mengetuk pintu.keburu kesiangan.gumamaku dalam hati.
Tiba-tiba kulihat seorang bergumul sarung keluar dari sebuah rumah yang tak jauh dari musholla. Rumah itu adalah rumah lek Munfiah. Aku sembunyi dimusolla, kuamati orang itu dari celah tembok kayu musholla yang sudah bolong. Ia menengok-nengok layaknya orang yang ingin menangkap ayam sabung. Memastikan tak ada orang yang melihatnya. Setelah sampai di jalan ia melipat sarungnya seolah tak melakukan apa-apa. Senter yang dipakainya dimasukkan kedalam saku celananya. Orang itu terus berjalan kearah jalan yang mendekati musholla. Kuamati dengan baik –baik siapa sebenarnya orang itu. seiring dengan itu degup jantungku kian lama kian naik turun. Lebih cepat dan semakin cepat seperti suara knalpot mesin pompa irigasi. Takut jika ia tahu aku mengamatinya sejak ia keluar dari rumah tadi. Dan…
Hoiiii ………’’
Jantungku hampir copot. Lidah petir seakan menjilatku barusan. Badanku gemetar sama seperti orang yang kedinginan ditengah musim salju di Negara Eropa. Kala aku menoleh kebelakang ternyata si gendut Muttakin yang mengagetiku dari belakang. Ia terbangun karena mukanya tertindih oleh tangan orang yang tidur di sebelahnya.
“Sedang apa kau yahya ngintip-ngintip segala? Sedang ngintip apa hayoh hehe.’’ Cletuknya.
“Gundulmu itu, aku sedang mengamati orang yang gerak geriknya aneh dan mencurigakan .’’
Kataku sambil berjalan keluar musholla.
Mencurigakan? Apa yang kau maksud mencurigakan?’’ Tanya muttakin dengan nada penasaran. Sambil mengikuti aku dari belakang.
“Ya… pokoknya mencurigakan.’’
Tak jadi aku mengetahui siapa orang tadi, ia ternyata sudah hilang dari jalan. sengaja aku tidak memberitahukan langsung pada Muttakin karena kalau aku bercerita padanya langsung, pasti ia akan bercerita pada siapa saja. pada adiknya, ayahnya, temanya, kakeknya dan pada siapa saja yang ia kenal. aku tak mau hal itu terjadi, sebelum aku tahu siapa orang mencurigakan itu.
“ Buruan kamu Bangunin pak kyai ahmad!!’’ Ucapku pada muttakin.
‘’ ya..tapi ceritakan dulu apa yang kau maksud mencurigakan itu ?’’
“Sudah cepat…ayo ..cepat.” Desakku pada Muttakin sambil mendorongnya kedepan pintu rumah kyai Ahmad.
Malam selanjutnya aku tak bisa tidur karena terus memikirkan perihal orang itu. Muttakin tetap ngotot kepengin tahu. Aku tak ingin belum apa-apa sudah cerita pada orang lain. aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apa yang sedang dilakukan orang itu di rumah lek munfiah. apa orang itu maling? Tanyaku pada diriku sendiri. Kalau maling kenapa paginya tak ada kabar barang kehilangan di rumah lek munfiah . Aku semakin penasaran. Saking bingungnya memikirkan hal itu hingga tak sadar aku terlelap tidur.
Suara itu telah membangunkanku. seketika aku duduk dari tempat tidur. Suara yang terus dikumandangkan lima kali dalam dua puluh empat jam. Namun tak jemu dan bosan di dengar semua manusia yang mentadabburinya. Suara adzan di pagi bening kian sahdu. Seperti biasa aku menunggu pak kiai Ahmad menyalakan pengeras.
Menunggu pengeras suara dinyalakan aku mengambil air wudlu. Ketika keluar aku terkaget melihat orang yang kelihatanya sedang terburu-buru. ia tak sadar kalau aku mengamatinya. Kuamati secara seksama. Seseksama aku ketika mendapat pelajaran kimia di sekolah. Kuamati ia sambil sambil jonggkok di belakag tembok papan musholla, agar ia tak tahu.
‘’Ya..dialah orang kemarin, yang kemarin fajar keluar dari rumah lek munfiah’’.
Tapi kenapa sekarang ia lari terburu-buru seperti maling. Kalau ia maling kenapa malah lari tergesa-gesa menuju arah jalan yang biasa digunakan orang lewat kepasar. Kilasan lampu jalan semakin membuka penasaranku. Sedikit demi sedikit kian pasti menerangi wajahnya. semakin lama semakin terlihat wajah aslinya. Dan orang itu aku kenal, lelaki berkerubut sarung itu adalah lek Radi. Makelar sapi yang sukes di desaku. Sekaligus tetangga yang rumahnya satu lorong dengan lek Munfiah. Aku terdiam sendiri, kupalingkan pandanganku kebawah, kenapa pria punya anak lima itu tergesa-gesa keluar dari rumah lek munfiah. Ternyata setelah aku ingin melihatnya kembali ia sudah tak berada dijalan. Kenapa ia keluar dari rumah lek munfiah fajar-fajar begini. Aku terus bertanya-tanya pada diriku sendiri. Dan tiba-tiba dari belakang terdengar suara.
“Kenapa tidak kamu adzani Yahya, ‘’
Tanya seseorang dari belakangku.
Badanku gemetar seluruh tubuh ku seakan kaku, untuk menjawab pertanyaan yang biasa itu. Ternyata setelah lek Radi tergesa-gesa tadi, ia langsung lari ke Musholla. Padahal jarang sekali ia shalat berjamaah subuh di Musholla.
“ i…i…ya lek Radi, nunggu pak kiyai Ahmad menyalakan pengeras suara.”
“Pengeras suaranya itu sudah nyala. cepat adzan lalu bangunkan teman-temanmu yang masih tidur. Kenapa kamu malah disitu ?” Perintahnya padaku.
‘’iya lek ’’
Setelah sholat jama’ah subuh. Aku tak melihat lek radi lagi. Mungkin setelah salam ia langsung pulang. Aku dan teman-temanku mengambil al qur’an untuk ngaji pada pak kyai Ahmad. Ketika mengmbil al quran di rak musholla yang sudah lapuk. Terdengar suara orang yang berteriak-teriak seperti orang marah. Spontan teriakan itu membuat semua orang yang mendengarnya keluar untuk menyaksikan apa yang terjadi. Aku dan teman-temanku keluar untuk melihatnya termasuk kyai Ahmad. Ternyata suara itu adalah suaranya mbok Darsi. Ia sedang memarahi lek munfiah. Terdengar dengan jelas ia sedang memarahi lek munfiah.
“Dasar perempuan hina, ditinggal suami cari uang jauh-jauh ke Kalimantan, malah enakan-enakan selingkuh dengan orang lain, katakan siapa orang tadi?”
Sementara lek munfiah terdiam seribu bahasa. Tak ada kata-kata apapun yang keluar dari mulutnya.
‘’ayo katakan’’ Bentak mbok Darsi mertuanya.
Lalu mbok Darsi menggelandang dan membawa lek munfiah kerumah pak Rt, ia menceritan pada pak Rt, kalau menantunya ketahuan selingkuh. Namun mbok Darsi tak tahu siapa lelaki itu. Mbok Darsi yang sehari-harinya jualan di pasar. ketika mau pergi kepasar. ia sempat mampir kerumah menantunya untuk mengambil sayur yang ketinggalan kemarin. Karena pintu depan terkunci ia masuk lewat pintu belakang. Ia tahu pintu belakang rumah menantunya itu meskipun dikunci ia bisa membukanya. Karena bisa dibuka dengan memasukkan tanganya kesela-sela atas pintu. Mbok Darsi melihat menantunya sedang memeluk lelaki. Seketika karena marah, kaget dan penasaran yang tak tertahankan, spontan mbok Darsi berteriak pada lek munfiah. dan membuat lelaki itu langsung tergesa-gesa pergi dari pintu depan.
Setelah itu ia memberondong menantunya itu hingga tak bisa mengelak. Puncaknya terdengar ketika aku mengambil al qur’an untuk ngaji setelah usai sholat berjama’ah. Para warga yang lain juga terbangun karena suara mbok darsi yang menggelegar seperti orang kesetanan. Membuat para warga lain menyaksikan penyelesaian masalah dirumah pak Rt. lek radi pun ikut kesitu. Lek munfiah hanya diam, menunduk dan menagis.
Pak Rt bertanya pada lek munfiah.
“Betul yang dikatakan mertuamu itu munfiah.’’
“Iya betul pak Rt saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Ayoh mengaku menantu kurang ajar.” Desak mbok darsi.
Rumah pak Rt penuh dengan para warga yang penasaran, Aku juga berada dsitu untuk melihatnya. Sementara lek Radi melihat lek munfiah seperti itu, ia hanya memandang sambil menghisap sebatang rokok. Terlihat mukanya yang aneh dari sekian warga. Mungkin merokok bagi sebagian orang bisa membuat perasaan agak tenang, fikirku. termasuk lek radi. Suasana semakin alot. Pertanyaan dari pak Rt pun tak dijawab oleh lek munfiah. Dengan keadaan seperti itu ia hanya diam, merunduk dan menagis. Sementara mertuanya semakin marah dengan ucapan-ucapan sumpah serapah. Aku tak tahan lagi melihat itu. Aku ngin yang benar itu segera terkuak.. Ditengah para warga yang megerubungi itu aku berkata.
“Aku tahu siapa orang yang selingung dengan lek Munfiah. “
Seketika semua orang diam dan mngalihkan pandanganya kearah ku.
“Yahya kamu tahu siapa orang yang selingkuh dengan menantu kurang ajar ini? Siapa orang itu cepat katakan. Tanya mbok darsi untuk segera ingin tahu tahu.
Aku melihat wajah lek munfiah yang penuh dengan air mata. Ia langsung melihatku kemudian menagis dan merunduk kembali.
“Yahya jelaskan apa yang kau katakana tadi. Dan siapa yan selingkuh dengan munfiah.”
Tanya Pak Rt yang ingin masalah cepat selesai.
Aku langsung mengatakan lek radi lah yang selingkuh dengan lek munfiah. Semua orang langsung bergumam sendiri-sendiri.
“ Lek Radi maksudmu’’
Semua orang langsung mengarah kan pandangan pada lek Radi yang berada disitu. Seketika kaget dan berkata dengan keras.
“Apa maksdtmu anak ingusan. Apa kau punya bukti kalau aku yang selingkuh dengan orang ini?
Bentak makelar sapi itu dengan menunjuk wajah lek Munfiah.
“Sebentar biar anak ini bercerita. Kamu tak punya hak untuk memotong perkataan anak ini.’’kata pak Rt berusaha menengahi.
Aku ceritakan semua yang aku lihat pada dua hari ini. kuceritakan sedetail mungkin, lek radi yang keluar dari rumah lek munfiah kemarin dan barusan tadi. Kukatakan semua yang aku lihat, termasuk ketika ia tergesa-gesa keluar dari rumah lek munfiah. Kemudian shalat berjama’ah subuh di musholla untuk menghilangkan jejak, karena ia telah ketahuan mbok Darsi. padahal ia tak pernah shalat berjamah di musholla sbelumnya. Seumur-umur baru pagi ini ia mampir ke musholla untuk sholat subuh bersama. Kubeberkan semua, hingga para warga dan semua yang hadir disitu percaya. Aku tahu keadaan sperti ini tak mudah. Aku harus hati-hati menjelaskan. Dan sedetail mungkin menjelaskan kebenaran dari apa yang kusaksikan. Lek radi tak bisa menggelak dari apa yang ia perbuat. Kujelaskan semuanya sehingga semua benar-benar yakin. kemudian terdengar
“ya benar aku memang selingkuh dengan Radi.’’
Lek munfiah menyela perkataanku mungkin karena ia cepat-cepat ingin keluar dari situasi semacam ini.
“Apa yang kau katakan. Dasar perempuan jalang.’’ Bentak lek radi pada lek Munfiah,
Semua sudah jelas, tak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Engkau terus merayu aku Radi, kau janjikan hutang-hutangku lunas. Semua telah terbongkar. Jadi akui saja. Toh semua sudah tahu.”
Katanya pada lek Radi.
Dan kau mertauku, ini semua karena ulah anakmu. Jika saja anakmu itu tak berfoya dan gengsi hidup sederhana, semua takkan seperti ini.”
Lek radi ingin memukul lek munfiah namun para warga menghalaginya, Ahirnya semua masalah selesai. Lek Radi ahirnya mau mengakui kesalahanya. Selang beberapa hari suami lek munfiah pulang, ia dikabari oleh ibunya tentang kejadian itu. Awalnya suami lek munfiah marah besar dan sempat menggampar strinya, Namun rasa sayangnya tidak bisa sampai hati untuk menceraikan istrinya. Lalu ia membawa istrinya ikut merantau, serta memawa satu anaknya yang masih sekolah TK. Sementara lek radi di cap oleh warga sebagai orang yang suka selingkuh, jahat, dan sgudang ungkapan miring kepadanya. Ia terus digunjing warga tentang kelakuanya itu.
Kesaksianku di pagi bening, telah membuka kebenaran, kebenaran untuk tak perlu merasa takut jika hal itu memeng benar untuk dikatakan. Aku harus mengatakan yang benar itu benar dan salah itu salah. Kebenaran harus diiringi keberanian, Fikirku. Jika banyak orang melakukan kesalahan dengan berani. Kenapa justru yang harus di ucapkan dengan berani tidak dikatakan dengan berani.
Arifin Oce anak pertama dari 2 bersaudara, lahir di sebuah kampul kecil bernama ngampel. lahir tg

naskah drama pendek dan menarik

RATRI
Karya : Arifin Oce
RATRI
BU RATRI
PAK RATRI
JOKO
RUMINAH
SATU
SUARA MUSIK MELO (PETIKAN GITAR), MENGGAMBARKAN SUASANA PERCINTAAN, PERLAHAN LAMPU MULAI MENYALA, LAMPU MEREDUP SEDIKIT TAPI TETAP MENYALA, DIIRINGI MELODI MUSIK MELO, RATRI BERDIRI DI PANGGUNG SEBELAH POJOK DEPAN. JOKO BERDIRI DIPANGGUNG SEBELAH TENGAH.
RATRI : Ketika rasa telah jauh tertanam dalam hati, kuyakini itu dengan kepasrahan.
JOKO :Dan aku akan selalu menyirami perasaan dan keyakinan itu agar selalu bersemi dan subur oleh ketulusanku.
RATRI : Jika ketulusan itu terhalang oleh tembok kesamaan dan perbedaan?
JOKO : Keadaan memang tak selalu sama, perbedaan kan selalu ada dan jalan tak semua lurus dan mulus, namun aku kan lakukan apa saja untuk mendapatkanmu atau tidak sama sekali.
RATRI : Oh.....benarkah? (Menolehkan pandangan kearah joko lalu kembali lagi) apa yang kan kau berikan padaku.
JOKO :Kesetiaan adalah yang akan kuberikan padamu Ratri.
RATRI : Memang terkdang cinta aneh dan membosankan namun tak habis kata yang berakar dari kata itu, dan ternyata aku telah terjangkit cinta itu. Sehingga aku takkan bisa menolakmu.....
JOKO : Aku akan membawamu ke pelaminan Ratri.
RATRI : Jika tak bisa kau bawa aku?
JOKO : Akan ku bawa kau ke dunia bayang-bayang.
DUA
LAMPU MENYALA. DALAM SEBUAH RUMAH SEDERHANA. DI RUANG TAMU, IBU RATRI DUDUK. BAPAK RATRI BARU PULANG DARI SAWAH.
PAK RATRI : Ratri sudah pulang bu?
BU RATRI : (Duduk di kursi meja makansambil menjahit baju) Belum pak.
PAK RATRI : Sudah dua hari ia kok belum pulang.
BU RATRI : Nanti juga pulang pak, katanya dua hari ini ia menemani temanya yang menikah.
PAK RATRI : (Berjalan mengambil sabit untuk membersihkan cangkulnya di lantai ruang tamu) Beberapa hari ini bapak selalu memikirkan Ratri bu?
BU RATRI : Ya jelas to pak, dia kan anak kita, mana mungkin ada orang tua yang tidak memikirkan anaknya.
PAK RATRI : Rupanya ia telah tumbuh dewasa.
BU RATRI : Dan tumbuh cantik tentunya.
PAK RATRI : Iya bapak tahu, namun terkadang sifat ngototnya yang tidak bisa kita kontrol ito lo bu!
BU RATRI : Wajar lah... pak, namanya saja anak muda, kalau ada keinginan pasti tidak bisa dicegah. Sebenarnya dia anak baik, penurut, santun. Namun memang ada keinginan tidak bisa di cegah.
PAK RATRI : saya kawatir kalau-kalau Ratri.....
BU RATRI : Kalau-kalau apa pak? (kaget, gugup) Bapak jangan mikir yang aneh-aneh, Ratri itu anak kita, mestinya kita do’akan agar tidak terjadi apa dengan dia.
PAK RATRI : Bu.......! ibu jangan pura-pura tidak tahu tentang masalah ini. Cepat atau lambat kita juga harus bicara tentang hal ini ada pada Ratri.
BU RATRI : Apa maksud bapak?
PAK RATRI : Sejak kecil kita besarkan Ratri dengan penuh kasih sayang, apapun yang diinginkannya sebisa mungkin kita berikan. Walau kita harus hutang sana-sini. Namun kita harus sadar siapa Ratri sebenarnya bu?
BU RATRI : Itu yang bapak maksud kawatir dan menjadi pikiran beberapa hari ini?
PAK RATRI :Ya itu yang membuat bapak tidak tenang.
BU RATRI : Ibu juga takut jika Ratri tahu kalau sebenarnya dia bukan anak kita. Bagaimana kita harus bicara padanya pak? Ibu takut kalau dia tidak bisa menerima. Ibu takut kehilangan Ratri pak!
PAK RATRI : Terima atau tidak, cepat atau lambat kita harus bicarakan hal ini dengan dia bu! Tinggal bagaimana dan kapan untuk membicarakanya diwaktu yang tepat.
BU RATRI : Sebenarnya ibu juga takut jika harus berpisah dengan anak kita, biarpun dia bukan anak kandung kita, saya sudah menganggapnya seperti anak sendiri. ( menghela nfas) ya sudah lah pak……. kita bicarakan lain kali saja, bapak makan dulu saja……ibu sudah siakan sayur lodeh sama sambel teri.
KETIKA BAPAK DAN IBU RATRI MAU MASUK, TERDENGAR SUARA ORANG MENGETUK PINTU.
RUMINAH : Kulonuwun …………Kulonuwun.
BU RATRI :(bersama menjawab) Monggo.... eh ….sampean to... Ruminah…..!
(Menoleh kearah pak Ratri)Kita kedatangan tamu istimewa pak.
PAK RATRI : (Basa-basi) Bagaimana kabare sampean mbakyu…..
BU RATRI : Pasti ada sesuatu yang penting sehingga sampean datang kesini.
RUMINAH : ya beginilah kabarnya kang baik ……ada hal penting yang harus kita bicarakan.
BU RATRI : Bagaimana kabar anakmu joko. Kelihatanya ia sudah dewasa ya…..dimana ia sekarang?
RUMINAH : Kabarnya baik, itulah yang aku ingin bicarakan dengan sampean.
PAK RATRI : Kiranya apa yang dapat kami bantu untuk meringankan sampean Ruminah. Karena kami sudah menganggap sanmpean sudah seperti saudara sendiri.
RUMINAH : Ini masalah joko dan Ratri.
PAK RATRI : (Kaget, terkejut)
IBU RATI : (Bingung, saling pandang dengan suaminya)
RUMINAH : Ya ini tentang anak kita, sejak kecil mereka berteman baik, aku pun tidak melarang mereka untuk saling bermain bersama. lambat laun mereka tumbuh dewasa, mereka pun semakin dekat. Setelah mereka sudah matang aku semakin kawatir…dengan hubungan mereka.
BU RATRI : Kami harus berbuat apa untuk bisa membuat sampean lebih tenang?
RUMINAH : (agak kawatir tapi berusaha tenang) Tiap hari yang dibicarakan joko hanya Ratri dan selau Ratri meluluk, seperti tak ada hal lain yang bisa dibicarakan selain Ratri. Tentang kebaikanya, sifatnya, kecantikanya tentang semua hal yang ia kagumi pada Ratri. Aku bangga sekaligus miris melihat hal itu. Ratri telah tumbuh dengan baik. Tapi aku kawatir kalau-kalau……kalau-kalau…….
PAK RATRI : (Berusaha menenangkan) Tenang mbakyu kita akan cari jalan keluar sama-sama.
RUMINAH : (dengan nada agak sedih) Dua Puluh tiga tahun yang lalu ketika aku melahirkan bayiku yang ke dua, bersamaan itu… suamiku mengalami kecelakaan dan meninggal. Aku bingung harus berbuat apa dan bagaimana harus merawat anakku yang baru lahir karena aku tak punya apa-apa.
PAK RATRI : Memang waktu itu kamu dalam keadaan yang sulit.
RUMINAH : Saya berterima kasih pada kalian yang mau merawat dan mendidik Ratri dengan sangat baik. Saya tidak tahu apa jadinya kalau tidak ada kalian yang mau merawatnya.
PAK RATRI : Kami sudah menganggapnya sudah seperti anak kami sendiri.
RUMINAH : Beberapa hari terahir Joko selalu mengarahkan pembicaraan tentang Ratri. Saya melihat ada keinginan Joko untuk melamar Ratri.
BU RATRI : Apa………. (kaget, terkejut ) Joko ingin melamar Ratri……oh…tidak……tidak……..(Takut, gelisah, dengan memegang dada berbicara dengan iba) mana mungkin kakak dan adik menikah, ini tidak bisa dibiarkan. (Terjatuh, da berbicara dengan tersendat-sendat) Apa kata orang jika ada saudara kandung menikah dengan saudaranya sendiri. Ini sungguh dosa besar jika kita membiarkanya…..
PAK RATRI : (Menolong istrinya yang jatuh) Tenang……bu tenang……. Ibu harus jaga kesehatan, nanti sakit jantung ibu, tambah parah. Semua pasti ada jalanya.
RUMINAH : Iya mbakyu semua harus sabar pasti nanti ada jalan keluarya.semua kita pikirkan sama-sama.
PAK RATRI : lebih baik kita bawa ke puskesmas dulu untuk cek kesehatanya.
RUMINAH : Iya kang ayo (membawa keluar panggung)
TIGA
LAMPU PELAHAN PADAM, KEMUDIAN LAMPU MENYALA, RATRI MASUK.
RATRI : Bu....Pak....Ratri pulang, (bicara sendiri) dimana ya bapak sama ibu ..(menaruh tas dan duduk di kursi dengan raut kelelahan sambil melamun) Ah.....capek bener dua hari ini menemani orang nikah, em…….enak tidak ya orang nikah, duduk berdua di pelaminan seperti raja dan permaisuri, tamu-tamu layaknya prajurit di sebuah istana, (tersenyum) mas joko-mas joko..kapan kau melamarku, ingin sekali aku cepat-cepat melahirkan anak-anakmu……..(sambil tersenyum sendiri)
JOKO : Kulonuwun…..
RATRI : Eh…mas Joko (salah tingkah) kenapa tidak memberitahu dulu kalau mau kesini.
JOKO : Sengaja aku tidak blang dulu. Aku mau ngasih kejutan sama kamu.
RATRI : Menarik juga, dalam rangka apa mas joko kok tiba-tiba ngasih kejutan?
JOKO : Tidak dalam rangka apa-apa, aku datang kesini kusus untuk kamu, karana selalu saja kau yang muncul dalam bebenakku.
RATRI : Ah….gombal (sambil bertingkah malu-malu)
JOKO : Tidak Ratri aku beneran.
RATRI : Biasanya laki-laki memang suka begitu kan!
JOKO : Kalau semua laki-laki memang penggombal, aku terkecuali diantaranya Ratri.
RATRI : Lalu kejutan apa yang kau maksud itu mas?
JOKO : Sebelumnya mas joko minta Ratri tutup mata dan berbalik ke belakang.
RATRI : (agak bingung tapi menuruti apa yang diminta joko)
JOKO : (berlutut lalau menegeluarakan sesuatu dari sakunya) Nah… sekarang kau boleh berbalik.
RATRI : (terkejut, kaget,)
JOKO : Ratri, sudah lama aku menantikan saat-saat ini, karena rasa sayangku aku tak bisa memilih wanita selain kamu. Maukah kau menikah denganku Ratri.
RATRI : (terdiam agak lama) Semua orang pasti ingin menikah dengan orang yang dicintai (terdiam kembali) dan untuk pinanganmu padaku, rasanya tak ada alasan untuk aku menolak. Karena kaulah orang yang aku sayangi itu….
JOKO : (penasaran) Jadi kau terima pinanganku Ratri?
RATRI : (mengangguk)
JOKO : (Jingkrak-jingkrak, melonjak-lonjak, ekspresi kebahagiaan yang tak ter terahankan) yes…….. hore…….yah……asik…. aku diterima ratri , aku akan menikah dengan ratri.
RATRI : (hanya trsenyum melihat kelakuan joko)
RUMINAH, IBU DAN BAPAK RATRI MASUK. JOKO TERUS BERJINGKRAK-JINGRAK.
PAK RATRI : Sebaiknya ibu banyak-banyak istirahat, jangan mikir yang berat-barat dulu….
BU RATRI : Iya..pak.
RUMINAH : Joko apa yang kamu lakukan disini?
JOKO : Ibu..
RATRI : Ibu kenapa?
RUMINAH : Ibumu habis dari puskemas sakitnya kambuh lagi. Tapi tidak apa-apa cuma ringan.
RATRI : Ibu tidak apa-apa kan
JOKO : Ah……..Kebetulan semua ada disini, joko dan Ratri ingin mengatakan sesuatu yang menggembirakan pada bapak dan ibu?
PAK RATRI : Hal yang menggembirakan? apa yang kalian ingin katakan?
JOKO : Sini Ratri (Ratri mendengat kearah Joko) bengini pak, kami minta doa restu bapak dan ibu…..(terdiam, Ratri dan Joko saling memandang)
PAK RATRI : Do’a restu untuk apa….?
JOKO : kami saling mencintai dan kami ingin menikah.
RUMINAH : (teriak) Apa….! kalian ingin menikah?
RATRI : Iya kami memutuskan ingin saling menikah.
RUMINAH : Apa ibu tidak salah dengar?
RATRI : Sebisa mungkin Ratri akan menjadi istri mas Joko yang baik.
RUMINAH : Tidak ….tidak pokoknya tidak boleh, kalian menikah.
JOKO : Tidak boleh kenapa bu? Saya sayang sama Ratri , begitu juga Ratri.
RUMINAH : Ini bukan masalah sayang atau tidak joko ? ini masalah….
JOKO : Masalah apa …masalah penaggalan jawa yang kurang cocok?
RUMINAH : Tidak, bukan itu anakku(panik berjalan ke pojok depan panggung)
JOKO : Masalah harta?
RUMINAH : Juga bukan itu. Yang pasti pernikahan in tiodak beleh dilakukan.
JOKO : (agak memaksa) Lalu apa bu….. apa alasanya?
PAK RATRI : Joko mungkin Ratri bukan jodohmu?
RATRI : Kenapa bapak ikut-ikutan melara
(menangis) Sudahlah….sudah.
JOKO : (tegang, dengan nada tinggi) Pokoknya aku harus menikah dengan Ratri. Biar apapun yang menghalangi, aku akan tetap menikahi Ratri.
RUMINAH : (berteriak, dengan nada tinggis sambil menagis) bagaimana kami harus membe restu pada kalian. Jika kalian itu saudara kandung!
JOKO : Apa …saudara ….kandung….. (semua diam) pasti ibu bohong….pasti ini salah
RATRI : Tidak mungkin…pasti kalian mereka-reka sendiri cerita ini agar kami tidak menikah
IBU RATRI : kalian memang saudara kandung, Ratri adik kandungmu Joko , saat Ratri lahir ayahmu mengalami kecelakaan, ibu tak tahu harus berbuat apa. Waktu ITU kau masih kecil dan tak tahu apa-apa joko. Ibu memutuskan meminta teman baik ibu untuk merawat kamu Ratri, karena ia tidak punya anak. orang itu adalah yang kau anggap ayah dan ibu selama ini Ratri.
JOKO : Bohong…. Pasti….semua ini bohong, tak mungkin Ratri adalah adik kandungku,(Tertawa) Ratri adik kandungku (Bertingkah gila)
(tertawa) hore…hore joko sebentar lagi mau nikah sama Ratri…..(tertawa, menangis, berteriak)
RATRI : (Menangis kasihan) Apa yang kau lakukan mas?
JOKO : Eh…… kamu siapa enak saja …jangan ganggu aku, akau mau nikah sama Ratri. Ratri dimana kau (Berlari keliling panggung) Ratri…Ratri nanti setelah nikah kita main kuda-kudaan yuk …(Tertawa) kamu jadi joki nya aku kudanya aku jadi jokinya (Tertawa gila seperti anak kecil) eh salah ……aku jadi jokinya kamu jadi kudanya………..(nagis) ratri dimana kau ………berlari keluar panggung.
RUMINAH : Joko…..Joko…….kau mau kemana anakku…….(Berlari mengikuti sambil menangis) Joko…..
RATRI :Mas tunggu…mas ……mas Joko (Ingin mengikuti joko)
PAK RATRI :(Mencegah, memegang tangan Ratri) sudahlah ratri…
RATRI : Tidak ….tidak…..(Sambil menagis) aku akan mengejar mas joko….ku. lepaskan tanganku …lepaskan…lepaskan (menghantam kepala ayahnya dengan cangkul yang berada di lantai)
BU RATRI : Bapak…..pak (Menagis, memangku suaminya)
RATRI : (Ketika Ratri mau keluar ia menengok ke belakang, melihat ayahnya yang berlumuran darah) ah …bapak bapak kenapa? Pak…….(Menjerit)
BU RATRI : Kau membunuhnya Ratri, kau…kau…….(Mati memegang dadanya karena serangan jantung) Akh…….
RATRI : (Mendekati bapak dan ibunya yang telah mati) pak…..! bu….! Bapak ……ibu…….
Akh………………! (Terdiam beberapa saat, lalu tertawa, terdiam lama )bapak kita besok pergi jalan-jalan ya (menagis) tapi ratri takut kalau di godain crang-orang bu…….! (teriak) hore……..emmmmmm kalau ratri udah gede mau jadi pilot terbang kemana….mana………(menangis, dan bertingkah seperti anak kecil)
MUSIK SEDIH, LAGU SEDIH, LAMPU AGAK MEREDUP, RUMINAH MASUK MENGGANDENG JOKO.
RUMINAH : Ratri….kang, mbakyu……..(Menangis merangkul joko dan Ratri yang telah gila)
LAMPU SEMAKIN MEREDUP, MUSIK DAN LAGU SEDIH SEMAKIN KERAS.
SELESAI
Semarang, 19O911
Biodata
Lahir di Grobogan, 28 Agustus 1988. Mempunyai nama asli Zainal Arifin. Namun akrab dipanggil dengan sebutan Arifin Oce. Mengambil study pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Perguruan Tinggi IKIP PGRI Semarang. Aktif di Teater Gema sejak tahun 2010. Dan sejak itu pula mulai aktif dengan hobi menulis. Baik menulis naskah draa maupun artikel-artikel pementasan. Naskah yang pernah di pentaskan bersama Teater Gema antara lain. Pagi Bening, Ronda 2, Guru Semar. Mempunyai hobii membaca novel, kususnya karya-karya Habiburrahman El Siyrezy dan Andrea Hirata.